Banner Iklan

Tari LUMENSE, Tarian Tradisional Etnis Moronene

 

KilasSultra.com-BOMBANA-Tari Lumense merupakan seni tari yang cukup tua dalam sejarah budaya Moronene di Tokotu’a (Kabaena).

Dari ritme gerakan-gerakannya yang dinamis, sangat nampak terlihat bahwa tarian “lumense” memiliki nilai magis spiritual. Secara etimologi, kata “lumense” terdiri dari kata “lumee” yang bermakna mencuci atau membersihkan dan kata “e’ense” berarti berjingkrak-jingkrak (ibarat minginjak dan melompati bara api).

Menurut sebuah kisah yang telah dituturkan secara turun temurun oleh pemangku adat, tari “lumense” lahir dari sebuah proses ‘mistis” (pengusiran terhadap roh-roh jahat atau eksorsisme).

Pada suatu masa negeri Tokotu’a dilanda wabah penyakit yang berkepanjangan. Seorang “wolia” (shaman, orang yang memiliki kemampuan supernatural) bergelar Wolia Mpehalu melakukan pertapaan di gua Watuburi untuk mencari ilham guna mengatasi wabah.

Dalam pertapaan tersebut, Wolia Mpehalu dirasuki oleh roh penghuni/penguasa gunung Sangia Wita (“nteiwonua”) yang melalui raga “Wolia Mpehalu” melakukan gerakan-gerakan “e’ense” disertai permintaan ritual pensucian.

lumense

Pada masa lalu (sebelum mengenal konsep Tuhan dalam beragama), selain percaya kepada adanya penguasa wilayah suku Moronene juga percaya kepada roh-roh para leluhur dan sangia yang dianggap memiliki kekuasaan mutlak.

Untuk itu ada beberapa ritual yang lazim dilakukan untuk memperoleh restu (blessing) atau untuk menenangkang (pacify/please) roh-roh para leluhur dan sangia salah satunya adalah mempersembahkan korban berupa manusia (tumbal).

Ritual semacam ini juga lazim dijumpai dalam tradisi suku-suku tua dari rumpun penutur bahasa Austronesia sebagaimana yang dipaparkan dalam sebuah jurnal “Pulotu: Database of Austronesian Supernatural Beliefs and Practices”, 2015, Joseph Watts.

Maka atas pentujuk (ilham) yang diterima oleh Wolia Mpehalu, diadakanlah ritual persembahan di E’e Mpuu (pusat negeri Tokotu’a zaman dahulu) dengan mengorbankan seorang gadis perawan yang suci nan cantik yang dirangkaikan dengan gerakan-gerakan menari disertai dengan iringan tetabuhan dan syair-syair pemujaan (mantra).

Ritual tersebut diyakini akan mengusir roh-roh jahat yang telah menyebabkan timbulnya wabah.

Sejak saat itu, ritual “lumense” menjadi tradisi dalam mengatasi wabah atau bencana lain yang dianggap berasal dari ulah roh-roh jahat akan tetapi menggunakan hewan sebagai bentuk pengorbanan (tumbal).

Kemudian berkembang menjadi ritual adat dalam proses pembukaan lahan atau kampung yang disebut “meoli” (sama dengan ritual “moo’oli” yang ada di masyarakat Moronene daratan). Dalam ritual ini, penari “lumense” dilakukan oleh beberapa “wolia” atau turunan “wolia” yang dipimpin oleh seorang “bissa” (ahli supernatural atau “pembue’a” di masyarakat Moronene daratan).

Baca Juga  Mengenal Tarian Morengku Etnis Moronene

Pada era masuknya ajaran Islam, tari “lumense” mengalami peyesuaian dengan menghilangkan unsur mistis (eksorsisme) dan lebih menonjolkan unsur seni budayanya dan hanya dilakukan dalam upacara adat tertentu seperti ketika masyarakat adat hendak membuka lahan pertanian yang secara simbolik diwakilkan dengan gerakan memotong batang pisang. Pada bagian akhir tarian para penari melakukan “lulo” bersama yang melambangkan semangat kebersamaan dan gotong-royong.

Tari “lumense” kini sudah menjadi aset budaya Moronene yang sering ditampilkan dalam ritual penyambutan tamu dan acara sosial budaya lainnya. Pada umumnya tarian “lumsense” dipersembahkan oleh 8 – 12 penari wanita yang terdiri dari 4 – 6 orang (berperan sebagai pria yang memegang parang dan memakai topi kerucut) dan 4 – 6 orang memegang tatakan, diiringi oleh alunan bunyi “tawa-tawa” (gong) dan ganda (gendang)

 

Dirangkum dari berbagai sumber diantaranya:

  1. Moronene Heritages andLegacies
  2. “Khazanah Sastra Daerah di Sulawesi Bagian Selatan”, Hokuto Publishing lnc., Kyoto, 2016, Yamaguchi Masao dkk.
  3. Inventarisasi WBTB, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sulawesi Tenggara
  4. “Pulotu: Database of Austronesian Supernatural Beliefs and Practices”, 2015, Joseph Watts.
  5. Mokole Ilfan Nurdin, S.Ag., M.Hum., Pemangku Adat Moronene Tokotu’a. (ADV)LUMENSE – Tarian Tradisional Moronene

     

    KilasSultra.com-BOMBANA-Tari Lumense merupakan seni tari yang cukup tua dalam sejarah budaya Moronene di Tokotu’a (Kabaena).

     

    Dari ritme gerakan-gerakannya yang dinamis, sangat nampak terlihat bahwa tarian “lumense” memiliki nilai magis spiritual. Secara etimologi, kata “lumense” terdiri dari kata “lumee” yang bermakna mencuci atau membersihkan dan kata “e’ense” berarti berjingkrak-jingkrak (ibarat minginjak dan melompati bara api).

     

    Menurut sebuah kisah yang telah dituturkan secara turun temurun oleh pemangku adat, tari “lumense” lahir dari sebuah proses ‘mistis” (pengusiran terhadap roh-roh jahat atau eksorsisme).

     

    Pada suatu masa negeri Tokotu’a dilanda wabah penyakit yang berkepanjangan. Seorang “wolia” (shaman, orang yang memiliki kemampuan supernatural) bergelar Wolia Mpehalu melakukan pertapaan di gua Watuburi untuk mencari ilham guna mengatasi wabah.

     

    Dalam pertapaan tersebut, Wolia Mpehalu dirasuki oleh roh penghuni/penguasa gunung Sangia Wita (“nteiwonua”) yang melalui raga “Wolia Mpehalu” melakukan gerakan-gerakan “e’ense” disertai permintaan ritual pensucian.

     

    Pada masa lalu (sebelum mengenal konsep Tuhan dalam beragama), selain percaya kepada adanya penguasa wilayah suku Moronene juga percaya kepada roh-roh para leluhur dan sangia yang dianggap memiliki kekuasaan mutlak.

     

    Untuk itu ada beberapa ritual yang lazim dilakukan untuk memperoleh restu (blessing) atau untuk menenangkang (pacify/please) roh-roh para leluhur dan sangia salah satunya adalah mempersembahkan korban berupa manusia (tumbal).

     

    Ritual semacam ini juga lazim dijumpai dalam tradisi suku-suku tua dari rumpun penutur bahasa Austronesia sebagaimana yang dipaparkan dalam sebuah jurnal “Pulotu: Database of Austronesian Supernatural Beliefs and Practices”, 2015, Joseph Watts.

     

    Maka atas pentujuk (ilham) yang diterima oleh Wolia Mpehalu, diadakanlah ritual persembahan di E’e Mpuu (pusat negeri Tokotu’a zaman dahulu) dengan mengorbankan seorang gadis perawan yang suci nan cantik yang dirangkaikan dengan gerakan-gerakan menari disertai dengan iringan tetabuhan dan syair-syair pemujaan (mantra).

     

    Ritual tersebut diyakini akan mengusir roh-roh jahat yang telah menyebabkan timbulnya wabah.

    Sejak saat itu, ritual “lumense” menjadi tradisi dalam mengatasi wabah atau bencana lain yang dianggap berasal dari ulah roh-roh jahat akan tetapi menggunakan hewan sebagai bentuk pengorbanan (tumbal).

     

    Kemudian berkembang menjadi ritual adat dalam proses pembukaan lahan atau kampung yang disebut “meoli” (sama dengan ritual “moo’oli” yang ada di masyarakat Moronene daratan). Dalam ritual ini, penari “lumense” dilakukan oleh beberapa “wolia” atau turunan “wolia” yang dipimpin oleh seorang “bissa” (ahli supernatural atau “pembue’a” di masyarakat Moronene daratan).

     

    Pada era masuknya ajaran Islam, tari “lumense” mengalami peyesuaian dengan menghilangkan unsur mistis (eksorsisme) dan lebih menonjolkan unsur seni budayanya dan hanya dilakukan dalam upacara adat tertentu seperti ketika masyarakat adat hendak membuka lahan pertanian yang secara simbolik diwakilkan dengan gerakan memotong batang pisang. Pada bagian akhir tarian para penari melakukan “lulo” bersama yang melambangkan semangat kebersamaan dan gotong-royong.

     

    Tari “lumense” kini sudah menjadi aset budaya Moronene yang sering ditampilkan dalam ritual penyambutan tamu dan acara sosial budaya lainnya. Pada umumnya tarian “lumsense” dipersembahkan oleh 8 – 12 penari wanita yang terdiri dari 4 – 6 orang (berperan sebagai pria yang memegang parang dan memakai topi kerucut) dan 4 – 6 orang memegang tatakan, diiringi oleh alunan bunyi “tawa-tawa” (gong) dan ganda (gendang).

    ***

    Dirangkum dari berbagai sumber diantaranya:

    1. Moronene Heritages andLegacies
    2. “Khazanah Sastra Daerah di Sulawesi Bagian Selatan”, Hokuto Publishing lnc., Kyoto, 2016, Yamaguchi Masao dkk.
    3. Inventarisasi WBTB, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sulawesi Tenggara
    4. “Pulotu: Database of Austronesian Supernatural Beliefs and Practices”, 2015, Joseph Watts.
    5. Mokole Ilfan Nurdin, S.Ag., M.Hum., Pemangku Adat Moronene Tokotu’a. (ADV)
Tulis Komentar