Banner Iklan

Tiga Makna Filosofis Mainan Lato-lato Bagi PNS

Oleh: Rizky Kurnia Rahman, S.I.P*

Siapa di sini yang tahu tentang mainan lato-lato? Tentunya hampir semua orang yang melihat pertanyaan itu akan menjawab, “Iya”. Namun, jika pertanyaannya adalah: “Siapa di sini yang bisa memainkan lato-lato?” Maka jawabannya dua kemungkinan, bisa dan tidak bisa.

Menurut banyak tulisan, mainan lato-lato ini memang sangat viral. Anda bisa mencari dan menguliknya sendiri.

Ada tulisan yang membahas lato-lato sampai video pun ada. Berbagai media juga mengulasnya. Sekali lagi, Anda bisa mendapatinya dengan sangat mudah.

Termasuk dalam hal ini adalah bahaya mainan lato-lato. Ada korban anak di Kalimantan Barat yang menderita luka mata karena terkena serpihan lato-lato. Memang ini mengerikan dan tentunya menjadi kewaspadaan tersendiri bagi orang tua untuk anak-anak yang memainkannya.

Akan tetapi, mainan lato-lato ini seperti mainan lainnya, adakah mainan yang tidak berbahaya? Atau minimal pertanyaannya begini, adakah mainan yang benar-benar aman untuk anak? Tidak ada bukan?

Hal yang bikin salut dari mainan lato-lato adalah bisa mengalihkan perhatian anak-anak sejenak dari gawai. Kita tahu bahwa begitu banyak orang tua yang stres anaknya main HP terus-terusan. Dari yang awalnya meminjamkan atau – yah – membelikan HP agar anaknya diam, eh, justru akhirnya orang tua yang tidak bisa diam. Lho, salah siapa kalau begini?

Pada tulisan kali ini, tidak akan dikupas lebih jauh tentang mainan lato-lato. Hal yang akan dibahas adalah tentang makna filosofisnya. Lho, ada toh, Mas? Iya, memang ada.

Makna filosofis tersebut bukan untuk semua orang, melainkan khusus untuk PNS atau Pegawai Negeri Sipil. Profesi ini yang menjadi ujung tombak dari penyelenggaraan negara. Profesi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Makanya, makna filosofis dari mainan lato-lato akan coba dikupas di sini.

Apa saja makna filosofis tersebut? Saya menulisnya menjadi tiga makna saja. Khawatirnya kalau terlalu banyak, misalnya tiga ratus makna, nanti jadi tidak muat di sini. Selain itu, kalau sampai tiga ratus, saya belum menemukannya. Jadi, cukup tiga saja. Baik, kita mulai!

Bentuknya yang Bulat

Makna filosofis mainan lato-lato yang pertama adalah bulatnya mainan ini. Sampai sekarang saya belum pernah melihat lato-lato yang bentuknya tidak bulat. Misalnya, kotak, segitiga, batang, atau bentuk lain.

Kalau plesetannya sih pernah, misalnya pakai kelapa atau tabung gas tiga kilogram. Jika memang mainan lato-lato ini bentuknya bulat, apakah pendukung pemahaman bumi datar, akan memilih mainan lato-lato dengan bentuk datar juga?

Baca Juga  Pantau Kehadiran, Pj Bupati Buton Sidak ASN

Makna filosofis mainan ini, kaitannya dengan bentuk bulat adalah kebulatan niat dari PNS. Sebelum mendaftar, bulatkah tekad mereka? Siapkah mereka menjadi seorang PNS? Apakah itu kemauan sendiri ataukah tekanan dari orang tua? Jangan-jangan yang kedua? Atau jangan-jangan demi menjadi calon menantu idaman?

Meskipun terlihat aman, nyaman, dan mempunyai status sosial lebih tinggi, apalagi di Sulawesi ini, sebenarnya menjadi PNS itu berat, bahkan sangat berat. Sebab, pada dasarnya mereka bekerja untuk negara dan digaji oleh negara. Penghasilannya dari uang rakyat.

Bayangkan jika tidak bekerja dengan baik, di akhirat nanti dituntut oleh seluruh rakyat bagaimana hayo? Rakyat sudah mempercayakan amanah kepada si PNS, tetapi PNS tersebut malah menyia-nyiakan amanat tersebut.

Padahal, melanggar amanah itu khianat, dan khianat itu termasuk dosa besar. Bagian dari ciri-ciri orang munafik. Apa tidak mengerikan itu?

Terhubung dengan Tali

Mainan lato-lato berbunyi “tek-tek” itu karena ada talinya. Dan, talinya cukup pendek saja, tidak usah panjang-panjang, apalagi sampai lima meter. Waduh, akan sangat susah dimainkan!

Makna filosofis mainan lato-lato bagi PNS yang kedua ini adalah makna tali tersebut. PNS adalah seorang PNS di manapun berada. Ketika di kantor, rumah, masyarakat, maka predikat PNS itu akan selalu mengikat bagaikan tali.

Meskipun tidak pakai seragam, tetapi masyarakat mengenal orang itu sebagai PNS. Dari persepsi tersebut, seorang PNS semestinya menjadi contoh yang baik.
Misalnya, ketika ada gotong royong atau kerja bakti, muncul dengan perasaan yang senang dan bahagia. Menampilkan kerja yang bagus demi kepentingan lingkungan tersebut.

Hal ini pernah saya lihat di kampung saya, waktu ada kerja bakti menjelang 17 Agustus. Tokoh-tokoh masyarakat yang PNS turun langsung. Kalau yang masih terbilang muda, langsung bekerja memasang umbul-umbul dan yang lainnya. Sementara yang sudah tua mengarahkan yang muda untuk bekerja.

Selain itu, PNS juga menjadi contoh dalam aktivitas agama. Bekerja sebagai abdi negara tidak lantas membuatnya larut dengan dunia. Dia juga berorientasi akhirat dengan menjalankan perintah Allah, bahkan mengajak orang lain untuk seperti itu.

Saya teringat dengan mantan atasan dulu. Beliau begitu gigih untuk mengajak orang salat. Tidak hanya di kantor, tetapi juga di luar. Saat perjalanan dinas dan menginap di hotel, beliau membangunkan staf untuk salat Subuh. Ini termasuk luar biasa dan contoh yang mengagumkan.

Tali yang mengikat PNS juga bisa bermakna atau berarti, di manapun dia berada, harus bisa bekerja. Makanya, bisa jadi, ada yang sedang cuti, tiba-tiba disuruh harus segera kembali untuk menjalankan tugas khusus.

Baca Juga  Jejal Judi Online, Oknum PNS Buton Ditahan Polres Baubau

Sengaja Dibenturkan

Makna filosofis mainan lato-lato bagi PNS yang terakhir adalah mainan ini memang sengaja dipertemukan dengan dibenturkan. Bisa agak keras, bisa keras sekali. Makin keras dibenturkan, maka akan makin kencang pula bunyinya.

Apa hubungannya dengan dunia PNS? Oh, jelas ada. Seorang PNS juga dibenturkan keadaannya. Lho, dibenturkan dengan apa? Pertama, dibenturkan dengan berbagai aturan. Bisa undang-undang, peraturan instansi, keputusan pimpinan, surat edaran, dan peraturan tertulis lainnya.

Selain itu, dibenturkan juga dengan atasan, maupun bawahan, termasuk rekan kerjanya. Jika mengacu kepada benturan dengan aturan, seorang PNS itu pada dasarnya memang harus ikut aturan.

Seragamnya diatur, hari Senin bajunya apa, Selasa, apa, sampai hari Jum’at. Begitu pula waktu masuk serta pulangnya. Kalau tidak cukup di jam kerja, bisa ditambah lembur, itupun ada aturannya pula.

Tidak hanya kewajiban, hak PNS juga diatur. Hak cuti tahunan, melahirkan, dan cuti-cuti lain ada aturan semua. Begitu pula dengan jumlah gaji sesuai golongan, honor, uang perjalanan dinas, termasuk nanti kalau sudah pensiun.

Jadi, kewajiban diatur, hak diatur, tidak cuma dirinya, tetapi juga penghasilan untuk keluarganya. Tunjangan istri dan anak telah ditentukan negara.

Masa Kalah?

Mainan lato-lato telah menjadi bagian tersendiri dalam dunia anak-anak kita. Mereka membawa mainan tersebut ke mana-mana. Lebih seru dimainkan bersama-sama, bisa dengan anak tetangga maupun teman sekolah.

Orang dewasa seperti PNS itu memang kurang cocok jika main lato-lato, apalagi terus-menerus. Lebih tidak cocok lagi jika main lato-lato di dalam kantor. Sudah suaranya mengganggu, toh dilihat atasan, bawahan, maupun rekan kerja, tidak enak juga bukan?

Nah, yang bisa diambil adalah makna filosofis dari mainan lato-lato tersebut, seperti tiga macam di atas. Kalau anak-anak akan susah mencerna makna filosofis tersebut, sementara orang dewasa akan lebih mudah.

Pertanyaannya, apakah akan menjadi bagian dari kepribadian dan keseharian? Tentunya hal ini dikembalikan kepada PNS masing-masing. Sejatinya, PNS itu bekerja lebih untuk dirinya sendiri, meskipun namanya abdi negara.

Tidak hanya di dunia ini tanggung jawab PNS, tetapi dibawa ke akhirat sana. Kalau sudah bicara akhirat, tidak ada yang tidak mudah. Betul begitu bukan?

*Penulis adalah Kepala Subbagian Teknis Penyelenggaraan Pemilu, Partisipasi, dan Hubungan Masyarakat Sekretariat KPU Kabupaten Bombana.

Tulis Komentar