Banner Iklan

TERBENTUKNYA KERAJAAN MORONENE

KilasSultra.com-BOMBANA- Menurut Stephen C. Druce dalam sebuah artikel yang bertajuk “The Decentralized Austronesian polity: Of Mandalas, Negaras, Galactics, and the South Sulawesi Kingdoms”, SUVANNABHUMI Vol. 9 No. 2 (December 2017) 7-34, sistem kerajaan di Sulawesi Selatan baru mulai terbentuk sekitar tahun 1300 dan secara penuh berfungi sekitar abad ke-16.

Kerajaan Luwu dan Kerajaan Gowa terbentuk hampir bersamaan pada tahun 1300, kemudian Kerajaan Bone pada tahun 1330, Kerajaan Buton pada tahun 1332 dan tercatat dalam Negara Kertagama tahun 1365. Majapahit berdiri tahun 1293. Sementara Kerajaan Gapi di Ternate terbentuk tahun 1257.

Lebih lanjut Druce memaparkan, terbentuknya kerajaan-kerajaan di Sulawesi agak terlambat karena sebelum tahun 1300 Sulawesi belum menjadi bagian dari jalur perdagangan utama (Sriwijaya, Kediri, Khmer dan Campa). Kalaupun ada, hanya bersifat sporadis atau terbatas pada daerah tertentu seperti Kepulauan Banggai yang terhubung dengan jalur perdagangan skala kecil antara Kediri, Bali, dan Maluku.

Setelah tahun 1300, Sulawesi khusunya bagian selatan mulai banyak terlibat dalam kegiatan perdagangan dengan beberapa daerah di nusantara dimana mulai muncul lebih dari satu jalur perdagangan utama. Kemungkinan besar melalui jaringan perdagangan yang dibangun oleh Kerajaan Majapahit.

Lalu kegiatan perdagangan dengan dunia luar tidak hanya terbatas di daerah pesisir saja melainkan sudah melibatkan beberapa daerah dataran rendah dan dataran tinggi khususnya untuk komoditas pangan seperti padi. Kebutuhan padi dari dunia luar yang semakin meningkat membuat daerah Sulawesi mulai mamacu produksi dengan merubah pola bertani dari padi ladang yang berpindah-pindah ke padi sawah yang menetap dengan hasil panen yang lebih besar. Proses ini terus berlanjut hingga beberapa abad berikutnya.

Peralihan sistem pertanian ikut memicu tranformasi sosial, dari kelompok masyarakat sederhana yang menyebar di beberapa daerah dan dipimpin oleh kepala klan berdasarkan sistem keturunan (heredity chieftain) menjadi beberapa komunitas atau entitas politik yang besar. Beberapa elit penguasa mulai melakukan ekspansi wilayah untuk mengendalikan produksi pertanian, menguasai tanah pertanian dan mengatur masyarakat yang menggantungkan hidup pada pertanian (mirip sistem feodalisme yang berlaku di Eropa).

Pihak yang kuat adalah yang menguasai tanah yang memiliki produktifitas tinggi dan jalur perdagangan (dalam dan luar). Pihak yang kurang kuat terpaksa menjalin hubungan kerjasama dengan sistem upeti, baik setelah kalah perang atau secara sukarela demi melindungi kepentingan ekonomi wilayahnya. Hubungan kerjasama (persekutuan) umumnya diikat melalui perkawinan.

Para elit kekuasaan yang memimpin ekspansi ke wilayaha lain adalah sosok yang ambisius dan juga kharismatik namun tidak harus sosok yang gagah berani. Sosok tersebut bisa saja dikenal oleh masyarakat setempat memiliki darah bangsawan namun tidak mesti berkaitan langsung dengan penguasa saat itu. Mereka mengklaim tahta kekuasaan berdasarkan status silsilah keluarga serta didukung oleh kekuatan militer dan ekonomi yang kuat.

 

Budayawan Kasra Jaru Munara menuliskan Pada abad ke-16, beberapa kerajaan besar dan kecil mulai terbentuk. Ekspansi perdagangan dan pertanian terus berlanjut dalam skala besar. Persaingan antar kerajaan dalam mengamankan sumber daya alam memicu banyak pertikaian atau persekutuan. Konflik mulai mereda setelah 60 tahun ketika Kerajaan Gowa dan Tallo berhasil menaklukan Kerajaan Bone awal tahun 1643 M.

Baca Juga  Kisah hadirnya Sariwegading di Pulau Kabaena

Sebagaimana yang juga terjadi di beberapa tempat lain di Asia Tenggara, perdagangan tetap menjadi pemicu bangkit dan berkembangnya kerajaan-kerajaan tersebut dan masuk ke ranah persolan yang lebih rumit (silang konflik kepentingan). Namun demikian, perkembangan selanjutnya ditentukan oleh aturan-aturan adat dan politik masyarakat setempat.

Dalam buku “Kehidupan Masyarakat Pada Masa Praakasara, Masa Hindu Budha, dan Masa Islam”, 2019 karya Tri Worosetyaningsih, disebutkan bahwa tata kehidupan masyarakat yang diatur melalui lembaga kesukuan, berubah menjadi lembaga kerajaan atau lembaga negara. Perubahan tersebut dimotori oleh datangnya pengaruh India selain membawa agama Hindu dan Buddha (kekuasaan mengikuti konsep “Mandala” dalam faham kosmologi). Kemajuan yang menyolok dari sistem kerajaan ini adalah birokrasi yang merupakan alat menjalankan pemerintahan.

Dalam menjalankan pemerintahan terdapat pendelegasian kewenangan kepala pemerintahan atau raja melalui pimpinan di bawahnya sesuai bidang masing-masing. Struktur birokrasinya menitikberatkan pada upaya mengendalikan pertanian dan maritim.

Bagaimana dengan proses terbentuknya kerajaan di wilayah Moronene?

Perlu diakui bahwa tidak banyak informasi tertulis atau peninggalan sejarah yang bisa diperoleh menyangkut proses terjadinya pemerintahan sistem kerajaan di wilayah Moronene. Berbeda dengan di wilayah Sulawesi Selatan yang telah dipaparkan di atas. Ada cukup bukti-bukti pendukung berupa tulisan dan lisan yang juga sering diperkuat dengan data arkeologis.

Namun demikian penulis mencoba melakukan rekonstruksi sejarah berdasarkan beberapa peristiwa yang terjadi di sekitar wilayah Moronene. Penulis berkesimpulan bahwa wilayah Moronene diperkirakan tetap berada dalam sistem pemerintahan tradisional paling tidak hingga menjelang akhir abad ke-14 (sekitar tahun 1375-1390 M). Pada saat itu, wilayah Moronene sudah terbagi tiga yaitu Lelentula (kini Poleang), Keuwia (kini Rumbia) dan Kotu’a (kini Kabaena). Pembagian wilayah ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 1200 M (menjelang akhir hayat Apua Nungkulangi). Bila merujuk pada rentang waktu abad ke-14 maka pada zaman Sangia Tantuu berkuasa di Keuwia, Sangia Lawu (Sugilara) di Kabaena dan Sangia Moro di Polea.

Berikut beberapa peristiwa sejarah yang diduga kuat ikut memberikan andil dalam proses terbentuknya kerajaan di wilayah Moronene:

  • Apua Nungkulangi pernah menolak membayar upeti ke Luwu. Akhirnya dia terbunuh saat menghadapi serbuan pasukan Opu Topayung (Penguasa Luwu). Peristiwa ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 1200 M.
  • Sekitar tahun 1300 M, Riri Sao atau dikenal dengan nama Elu Ute Ntoluwu (putra Apua Nungkulangi) menikah dengan Siti Abiah, putri Opu Topayung. Sejak saat itu Riri Sao menjalin hubungan kerjasama dengan Luwu bahkan wilayah kekuasaan Riri Sao (Polea) pernah menjadi bagian dari Luwu (vassal) beberapa lama.
  • Terbentuknya kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan (Luwu, Gowa, Bone) tahun 1300 -1330M serta terbentuknya Kerajaan Buton tahun 1332 M dan Kerajaan Wuna (Muna) tahun 1371 M pasti akan membuat para elit Moronene untuk mengambil langkah antisipasi guna mengamankan wilayah teritorialnya.
  • Pada masa Raja Buton III berkuasa sekitar awal abad ke-15 (sekitar tahun 1425), terjadi perselisihan dengan Moronene Keuwia karena Kerajaan Buton menghukum mati Sangia Lerentapupu. Paska kejadian ini, Moronene Keuwia menolak memberikan “sorau” (upeti) kepada Buton yang berarti Moronene Keuwia sudah memiliki kesiapan membuka konfrontasi dengan Buton. Hubungan Buton dan Moronene Keuwia baru membaik pada masa Raja Buton V (Raja Mulae) berkuasa.
  • Pada pertengahan abad ke-15 (tahun 1450 M) kerajaan-kerajaan Moronene sudah memiliki peran yang diperhitungkan oleh kerajaan tetangga. Pada masa itu kerajaan-kerajaan Moronene mengambil langkah politik bekerjasama (“naddoangi”) dengan Kerajaan Bone.
  • Raja Buton IV (Raja Tua Rade) sekitar akhir abad ke-15 (sekitar tahun 1475 M) menetapkan La Manjawari sebagai Sapati di Kabaena.
  • Kerajaan Buton dan Moronene membuat perjanjian bilateral (kerjasama) pada zaman Raja Buton V (Raja Mulae) berkuasa yaitu pada tahun 1513 yang difasilitasi oleh Sapati Manjawari.
  • Pada masa pemerintahan Raja Buton V dan Raja Buton VI, Kerajaan Buton telah menjalin hubungan politik dengan Luwu, Konawe dan Muna atau Pancana. Melalui perkawinan “politik” antara putra-putri raja, daerah-daerah tersebut berada di bawah pengaruh kekuasaan Buton. Demikian pula daerah Poleang dan Rumbia di selatan jazirah Sulawesi Tenggara mengakui kekuasaan kerajaan Buton.
Baca Juga  Iskandar Sebut Pariwisata dapat mendongkrat Ekonomi dan PAD daerah

Namunpun demikian, Moronene tidak dinggap sebagai wilayah Bonto atau Barata oleh Kerajaan Buton melainkan tetap diakui sebagai wilayah Moronene. Wilayah Moronene Kabaena dipimpin oleh Sapati, Moronene Rumbia dan Poleang masing-masing dipimpin oleh Mokole. (Sumber: Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, Depdikbud, 1996).

 

 

Tanah Moronene yang luas dan subur, memiliki sumber daya alam yang melimpah berupa hasil hutan dan merupakan penghasil padi. Moronene merupakan salah satu dari tiga jalur perdagangan yang mulai berkembang pada masa itu yang menghubungkan Ternate-Buton-Gowa. Kondisi ini jelas menjadi incaran dari pihak luar yang ingin menguasai atau menjalin kerjasama. Apalagi kerajaan-kerajaan disekitarnya saling merebut pengaruh dan memiliki ambisi ekspansi wilayah.

Maka adalah logis apabila para elit Moronene melakukan perubahan-perubahan yang dianggap perlu khusunya menyangkut sistem pemerintahan guna mempertahankan wilayahnya.

Proses transisi dari sistem pemerintahan tradisional (heredity chieftain) ke sistem kerajaan diperkirakan melalui beberapa bentuk (fase) sesuai dengan kondisi yang ada saat itu.

Kata Mokole mulai dipakai untuk Raja namun sistem pemilihan Mokole tetap mengikuti tradisi sebelumnya (berdasarkan pada garis keturunan atau aristokrasi) dan struktur/susunan perangkat kerajaan dimodifikasi sesuai kebutuhan khusunya pengamanan wilayah teritorial. Hali ini dapat dilihat dengan adanya beberapa perbedaan struktur perangkat kerajaan dari masa ke masa.

Sebagai contoh, berikut ini adalah gambaran susunan perangkat Kemokolean Sangia Wolengke ketika menjabat Mokole Keuwia tahun 1520 M:

  • Mokole (Raja)
  • Bonto: penasehat atau pendamping utama Mokole, mewakili Mokole untuk masalah adat istiadat di tobu (perkampungan)
  • Tamalaki: Pengawal Mokole dan bertanggungjawab terhadap keamanan wilayah dan melaksanakan tugas “Monga’e (memburu kepala).
  • Pa’aluma: mengawasi wilayah darat dan perbatasan. Menjadi bantal (“pa’aluma) Mokole jika Mokole terbunuh.
  • Kapitalao: penghubung Mokole dengan Kerajaan Buton. Menjadi pelapis dada Mokole bila Mokole hendak ditikam.
  • Sabandara: mengawasi wilayah pesisir dan laut.

Bentuk lain dari susunan perangkat Kemokolean beberapa tahun setelahnya atau format yang diterapkan di Poleang dan Kabaena menunjukkan adanya perbedaan atau variasi (KJM/ADV)

 

Tulis Komentar