TEKA-TEKI DI BALIK DISAIN TEKNIK JEMBATAN TELUK KENDARI DAN KISAH-KISAH LAIN YANG BELUM DICERITAKAN
OPINI - Oleh lham Q. Moehiddin
“Kepada publik Sulawesi Tenggara, mengenai Jembatan Teluk Kendari, jangan lagi dipolemikkan. Energi yang kita miliki harus dikerahkan sebanyak mungkin untuk pembangunan daerah, bukan mempolemikkan hal-hal yang seharusnya dapat kita maklumi bersama.”
Demikian pesan Gubernur Sultra H. Ali Mazi, SH., kepada publik Sulawesi Tenggara (Sultra). Penting bagi saya meneruskan pesan baik ini. Jembatan Teluk Kendari (JTK), sebagai infrastruktur penting yang telah dibangun oleh Pemerintah Pusat, kegunaan dan manfaatnya kini dapat dirasakan masyarakat Sultra, khususnya warga Kota Kendari. “Berkah seperti ini harus kita syukuri bersama. Ini semua terwujud karena kerjasama yang baik antara para gubernur yang pernah memimpin provinsi ini.” Demikian Gubernur Ali Mazi memungkas pesannya.
Silang-sengkarut data dan fakta dalam perdebatan publik mengenai perjalanan dan proses pembangunan JTK, sepekan menjelang diresmikan hingga hari ini, masih menghangat di media sosial. Ketidaktahuan, atau ketidakpahaman publik lebih banyak menghiasi perbincangan di sekitar isu tersebut. Saling tuding, bahkan telah saling menghujat dua karakter gubernur yang pernah dan sedang memimpin Sultra saat ini.
Tindakan-tindakan itu tentunya tidak boleh dimaklumi. Publik yang terdidik adalah publik yang mampu menggunakan hak konstitusi berpendapatnya secara tepat dan terhormat, bukan publik yang sekadar mendorong pergunjingan dan penghujatan, namun luput memahami esensi informasi secara benar.
Sebelum jauh mengupas kisah di balik inisiasi JTK, saya ingin mendedahkan beberapa hal ini ke dalam memori Anda:
Selain gagasan yang diadopsi, upaya yang dikerahkan, dan jasa yang tak kenal lelah oleh sejumlah gubernur untuk mewujudkan JTK, maka nomenklatur dan fisik infrastruktur JTK adalah domain Pemerintah Pusat, sesuai Perpres No 56 Tahun 2018 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Infrastruktur JTK telah mengalami redesign (dirancang ulang) oleh PUPR, didanai APBN, dan dibangun oleh Konsorsium BUMN (PP-NK). Selain fungsinya sebagai kemanfaatan bagi publik, Pemerintah Pusat tentu saja menolak klaim sporadik daerah terkait preposisi aset negara tersebut.
* SEMUA GUBERNUR HARUS DISEBUT DALAM SEJARAH
Semua gubernur harus disebut dalam sejarah JTK. Sejak Brigjen Eddy Sabara, kemudian Drs. Abdulah Silondae, H. Alala, H. Laode Kaimoeddin, H. Ali Mazi dan H. Nur Alam, kemudian H. Ali Mazi yang memimpin Sultra saat ini, maka setiap nama tersebut memiliki andil dalam Perumusan (1970); Feasibility Study (2004); Detail Engineering Design (2010); Review DED (2011); Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (2014); Tender APBN Multiyears Contract (2015); Tanda Tangan Kontrak (27 November 2015); Evaluasi Konstruksi dari Komisi KJTJ (8 Juni 2016); Redesign dan Pelaksanaan Konstruksi (2016 – 2020); Peresmian (22 Oktober 2020).
Kecuali anggaran, semua gubernur sangat berperan mewujudkan JTK. Karena gagasan dan upaya di balik pewujudan JTK tidak berdiri sendiri, maka tidak ada gubernur yang “lebih berjasa” dibanding gubernur lainnya.
Polemik publik yang kemudian berkembang menjadi hujatan kepada pribadi para pemimpin Sultra harus dihentikan. Ini bukan sikap orang Tenggara. Apa yang saat ini dilakukan publik sudah berada di bawah standar moral, karena dilandasi ketidakpahaman dan ketidaktahuan. Tidak seorang pun yang sedang membaca tulisan ini yang mengetahui sejarah yang sesungguhnya, kecuali mereka yang bersangkutan.
Sejak otonom dari Sulawesi Selatan, provinsi yang berpopulasi 2,7 jiwa (2019) ini sudah dipimpin delapan orang gubernur dalam 12 periode kepemimpinan. Pada usia ke-56 tahun, Sultra tentu telah menyelesaikan sejumlah etape pembangunan yang segala dampaknya telah pula dirasakan hingga hari ini.
Dalam buku Geliat Transportasi di Sulawesi Tenggara (H. Yamin Indas; Kendari, 2017) dikisahkan bagaimana Golden Gate Bridge di Teluk San Fransisco mengilhami Gubernur Brigjen H. Eddy Sabara untuk memiliki jembatan serupa yang membentang di atas Teluk Kendari. Sebuah impian yang tak kunjung wujud. Kurang lebih 12 tahun memimpin Sultra, kondisi keamanan regional dan dana pembangunan membuat Gubernur Eddy Sabara urung mewujudkan impiannya.
Di masa kepemimpinan Gubernur Drs. Abdullah Silondae, gagasan JTK juga tak kunjung wujud. Gubernur kelahiran Buton ini wafat di usia 51 tahun saat beliau masih menjabat gubernur di tahun keempat. Pemerintah Pusat mengangkat kembali Irjen Depdagri Brigjen Eddy Sabara sebagai Penjabat Gubernur Sultra. Namun demikian, di masa pemerintahannya, Gubernur Abdullah Silondae menginisiasi dan berhasil mendirikan Universitas Negeri Haluoleo di Kendari.
Keterangan mengenai ini bisa dlihat dalam Memory H. E. Sabara (1977:13-14).
Perjalanan JTK sebagai sebuah impian masyarakat Sultra tidak berhenti begitu saja. Gubernur Ir. H. Alala tidak memiliki banyak peluang mewujudkan JTK, walau gagasan mengenai hal itu terus terevitalisasi. Program Gerakan Desa Makmur Merata (Gersamata) Gubernur Alala sebagai konkrisitas “desa mengepung kota”, kurang memberi peluang bagi perkembangan Kota Kendari. Walau demikian, prasarana desa dan penataan penduduk bisa terlaksana dengan baik. Akses jalan dari dan menuju Kabupaten Kendari melalui pesisir Timur dibuka, termasuk relokasi pemukim di Pulau Bokori ke tiga desa baru di pesisir Timur.
Gagasan JTK meringkuk seperti aroma parfum. Tercium wanginya namun secara fisik masih sukar dijangkau. Di masa pemerintahan Gubernur Drs. H. Laode Kaimoeddin, gagasan JTK nyaris mencabar karena Program Pemuktahiran Data dan Penataan Sarana Jalan Kota Kendari sebagai Ibukota Provinsi. Program JTK kembali dibicarakan dan sempat dilakukan survei untuk mengetahui di mana lokasi yang tepat sebagai titik awal pemancangan. Data sondir mulai dibuat di masa pemerintahan beliau. Pengolahan data sondir diperlukan bagi kepentingan interprestasi disain untuk pondasi main tower (atau pole) transmisi. Perhitungan-perhitungan mengenai daya dukung tanah dianalisa berdasarkan data hasil penyondiran.
Infrastruktur JTK masih urung terwujud hingga pergantian gubernur. Pemerintahan Gubernur Ali Mazi (2003) hadir dengan program dan gagasan yang sepenuhnya baru. Gubernur Ali Mazi berusaha mengakomodasi JTK sebagai infrastruktur transportasi yang penting dan sebuah kemanfaatan yang terukur. Program-program pembangunan infrastruktur transportasi terkonsentrasi melalui Stelsel Masyarakat Sejahtera (SMS) untuk mendukung visi Sultra Raya 2020. Tiga sarana transporatasi udara dibangun di era Gubernur Ali Mazi. Kompleks Bumi Praja —yang pencadangan lahannya sudah dilakukan Gubernur Laode Kaimoeddin— dibangun dan ditata. Feasibility Study (Studi Kelayakan) untuk dua infrastruktur; Jembatan Teluk Kendari dan Jembatan Buton-Muna, dilakukan pada tahun 2004. Dari dua rencana jembatan itu yang sampai pada tahapan blueprint hanya JTK. Seluruh proses itu terekam dalam Kaleidoskop Kinerja Kementerian PUPR Tahun 2014.
Di akhir masa jabatan pertama (2008), misi Gubernur Ali Mazi terkait JTK tentu terus berlanjut. Komunikasi yang intens dengan Gubernur Nur Alam dibangun secara sinergis.
Dalam kesempatan Uji Beban Statis dan Dinamik (UBSD) JTK pada 3 Oktober 2020, secara terukur dan saksama, Gubernur Ali Mazi menyampaikan fakta mengenai data Feasibility Study dan blue-print dimintakan izin penggunaannya oleh Gubernur Nur Alam ke dalam Program Bahteramas.
Di hadapan Wakil Ketua Komisi V DPR-RI Ridwan Bae, Sekda Prov. Sultra Nur Endang Abbas, Ketua DPRD Sultra Abdurrahman Saleh, Walikota Kendari Sulkarnain Kadir, dan seluruh undangan yang hadir, Gubernur Ali Mazi mengakui mengizinkan penggunaan data FS dan blueprint disain JTK. Ini penting untuk diketahui publik. Sehingga menjadi bukti yang terbuka dalam sejarah infrastruktur JTK di masa selanjutnya.
Feasibility Study dan disain konstruksi yang digunakan dalam Program JTK Gubernur Ali Mazi (2003-2008) menggunakan konstruksi Cable Stayed (Main Bridge), sesuai standar operasional teknik Kementerian PUPR. Lobi anggaran tetap dilakukan untuk terus mendorong terealisasinya JTK.
Pemerintahan Provinsi Sultra berganti untuk periode pertama Gubernur Nur Alam (2008-2013), dan tidak menghentikan lobi infrastruktur JTK. Gejolak politik dan pergantian kepemimpinan Indonesia di tingkat pusat juga mempengaruhi inisiasi infrastruktur JTK ini.
Dalam ketidakpastian inisiasi JTK (yang kemudian call sign-nya diubah menjadi Jembatan Bahteramas), Gubernur Nur Alam sempat menawarkan pendanaan infrastruktur ini melalui komitmen pinjaman mengikat (tied loan) kepada Pemerintah Tiongkok (2011-2013) —menurut mantan Kepala Bappeda Sultra Nasir Andi Baso (dalam tulisannya di SultraKini.com), sebesar Rp750 miliar.
Namun, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencegah upaya itu.
Pemerintah Indonesia terlibat “kisruh” tied loan dengan Pemerintah Tiongkok untuk empat proyek yang akan dikerjakan pada tahun 2010. Empat proyek tersebut adalah ruas tol Medan-Kualanamu (Sumatera Utara) sepanjang 60 Km (US$476 juta), ruas tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu, Jawa Barat) sepanjang 58,5 Km (US$395 juta), Jembatan Tayan Kalimantan Barat (Rp500 miliar), dan Jembatan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara (Rp750 miliar). Realisasi keempat proyek tersebut direncanakan melalui kerja sama dengan Pemerintah Provinsi masing-masing.
Pemerintah Tiongkok —yang notabene adalah pihak kreditur US$800 juta— mendesak agar sebanyak mungkin kontraktor Tiongkok terlibat dalam empat proyek itu. Tetapi menurut Pemerintah Indonesia, syarat itu terlalu berat. Pemerintah Tiongkok menolak opsi 30% kontraktor lokal (lihat metadata Finance Detik.com).
Nomenklatur proyek milik Pemerintah Indonesia pada tahun 2010 ini berubah, di mana Kementerian PU tidak menggunakan “nama program” dari visi-misi pasangan Gubernur-Wakil Gubernur, disebabkan pola pembiayaan proyek yang bersifat Preferential Buyer Credit (PBC/Preferensi Pihak Pendana). Artinya, nomenklatur PBC berada di tangan pemilik kreditur. Pemerintah Indonesia tentu tidak bisa menolak syarat dan nomenklatur dari konsorsium kontraktor asal Tiongkok, jika menerima tied loan bersyarat itu tadi. Di sisi lain nomenklatur lokal (visi-misi pemerintah daerah) juga hanya berlaku jika empat proyek tersebut didanai APBD Provinsi murni.
Secara definistik, Pemerintah Indonesia dan/atau Pemerintah Prov. Sultra tidak bisa menggunakan nomenklatur penamaannya, jika Pemerintah Tiongkok menerima dan mencairkan pinjaman mengikat mereka kepada Pemerintah Indonesia (2008-2013).
• PRESIDEN JOKOWI MEROMBAK HALUAN PEMBANGUNAN INDONESIA
Upaya Pemerintah Tiongkok menekan Pemerintah Indonesia dan kontraktor Nasional untuk mendorong kontraktor asal negaranya mengerjakan empat proyek itu, sampai akhir 2013, gagal total. Situasi politik yang disebabkan peralihan tampuk pemerintahan terjadi di pusat. Pemerintahan “Kabinet Indonesia Bersatu II” Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, berganti menjadi Pemerintahan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Yusuf Kalla (2014-2019).
Di masa Pemerintahan Kabinet Kerja ini, Presiden Joko Widodo merombak total prospektus infrastruktur dan melakukan format ulang melalui pola Program Infrastruktur Prioritas Nasional. Pinjaman dari negara manapun tidak lagi diarahkan pada proyek infrastruktur, namun lebih pada sektor lain, khususnya melalui pengalihan aset-aset pertambangan negara yang dikuasai asing.
Peran Menteri PU Djoko Kirmanto digantikan oleh Basuki Hadimuljono sebagai Menteri PU dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang dinilai lebih cakap dan terorganisasir untuk mengawal seluruh proyek infrastruktur yang akan dijalankan oleh Presiden Joko Widodo. Kementerian PUPR diperintahkan mempercepat pemerataan tingkat kesejahteraan rakyat melalui pembangunan infrastruktur dasar dan perumahan.
Dalam APBN 2015, Kementerian PUPR mendapat porsi anggaran Rp85,9 triliun (ditambah APBN-P sekitar Rp33 triliun) yang diarahkan bagi pembangunan infrastruktur untuk mendukung kedaulatan pangan melalui pembangunan waduk, sarana mendukung konektivitas dan transportasi, guna mendukung program prioritas dalam Nawacita dan Trisakti (lihat Kaleidoskop Kinerja Kementerian PUPR 2014).
Pada pertemuan seluruh Gubernur se-Indonesia dengan Presiden Joko Widodo untuk pertama kalinya di Istana Bogor pada akhir tahun 2014, menjadi langkah awal untuk membicarakan kembali terwujudnya sebuah jembatan di Kota Kendari yang semula gagal di era Presiden SBY.
Dalam pertemuan tersebut, Gubernur Nur Alam berhasil meyakinkan Presiden Joko Widodo mengenai manfaat hadirnya sebuah jembatan di atas Teluk Kendari. Presiden Joko Widodo setuju untuk kembali membiayai penuh empat proyek yang semula gagal itu. Empat proyek infrastruktur itu diambil alih oleh Pemerintah Pusat.
Maka pada tahun berikutnya, 2015, Presiden memerintahkan Kementerian PUPR untuk menghadirkan sebuah jembatan di atas Teluk Kendari, yang pendanaannya menggunakan APBN dengan skema multiyears contract (Kontrak Berjalan/Kontrak Tahun Jamak) selama lima tahun (dan perawatan tiga tahun).
• JTK YANG NYARIS CABAR
Sesuai Preferential Buyer Credit, setelah diambil-alih, dibangun dan diresmikan oleh Pemerintah Pusat, nomenklatur resmi jembatan tersebut adalah Jembatan Teluk Kendari-Indonesia Maju (JTK-IM) atau Jembatan Teluk Kendari atau Jembatan Indonesia Maju. Hal ini menjawab mengapa di kedua main tower (tiang utama) JTK tidak ditemukan benner nama lain, selain benner besar bertulis Jembatan Teluk Kendari dan Indonesia Maju, saat diresmikan pada 22 Oktober 2020.
Untuk infrastruktur JTK ini, PUPR tidak menggunakan disain pertama yang pernah dibuat di tahun 2004, atau disain kedua di tahun 2011, yang kemudian dijadikan acuan untuk Paket Proyek Jembatan Bahteramas Teluk Kendari di tahun 2015).
Namun, di Lembar Pengesahan paket proyek tersebut (diteken pada Februari 2015), pihak yang bertanggung jawab atas perencanaan paket proyek tersebut, tertera PT. Yodya Karya (Persero) Cabang Kendari, dengan PPTK dari Dinas PU Prov. Sultra, yang diketahui oleh Kepala Balai BPJN VI Makassar, Direktur Bina Teknik PUPR, dan Kasubdit Teknik Jembatan PUPR.
Lantas, mengapa nomenklatur, disain teknik dan data paket proyeknya tiba-tiba berubah?
Jawabannya bisa ditemukan dalam buku Bunga Rampai Knowledge Management Penerapan Teknologi Konstruksi, Edisi September–Oktober 2019, terbitan Kementerian PUPR, Dirjen Bina Konstruksi, Balai Penerapan Teknologi Konstruksi.
Pengubahan disain konstruksi dilakukan seusai Komisi Keselamatan Jembatan dan Terowongan Jalan (KKJTJ) Kementerian PUPR mengeluarkan hasil evaluasinya. Komisi ini menemukan kelemahan konstruksi JTK pada disain dalam dokumen yang disodorkan tahun 2015. Dengan hasil evaluasi KKJTJ-PUPR itu, disain JTK dikaji ulang berdasarkan peraturan pembebanan terkini serta hasil pengukuran aktual. Seluruh aspek teknik dari tahap pembangunan maupun operasional dibahas dalam komisi tersebut untuk memastikan keamanan dan keselamatan jembatan.
Pada halaman 11 buku tersebut, pihak BPJN XIV telah mengusulkan penambahan anggaran pembangunan JTK, dari Rp750 miliar menjadi Rp804 miliar karena mengalami perubahan disain untuk peningkatan kualitas konstruksi. Perbaikan disain akan dilakukan untuk memperkuat fondasi, struktur, dan jalan pendekat di ujung wilayah timur.
Setelah tim melakukan evaluasi, dinyatakan bahwa perangkat lunak Tekla Structures —perangkat lunak yang juga digunakan untuk mendeteksi kelemahan disain dan struktur proyek bangunan multiguna St Moritz Panakkukang, di Makassar, Sulawesi Selatan—merujuk penggunaan rebar dan detailing baja. Visualisasi yang diberikan Tekla telah mendeteksi ketidaksesuasian desain JTK di awal dan akhir fase yang dapat dijadikan pertimbangan bagi tim untuk membantu memutuskan dan menentukan metode dan rencana ereksi terbaik pada disain perubahan.
Temuan itu membuat tim harus bekerja dengan solusi perangkat lunak yang mampu mengakomodasi proyek JTK dengan mudah. Tim beralih ke Building Information Modelling (BIM) dan Tekla Structures. Efektifitas perangkat lunak tersebut, membuat tim berkeyakinan menerapkan Tekla Structures pada proyek infrastruktur Jembatan Teluk Kendari.
Untuk merancang disain Jembatan Bahteramas Teluk Kendari, tim membutuhkan waktu selama empat bulan. Namun berdasarkan temuan pada struktur dan disain, dan dievaluasi menggunakan Tekla Structures, perancangan ulang Jembatan Teluk Kendari hanya membutuhkan waktu satu bulan.
Perancangan ulang teknik struktur dan desain baru Jembatan Teluk Kendari itu menemukan bahwa dibutuhkan kuantitas beton 75.112 m3 dan baja 11.440.769 kg. Berkat Tekla Structures, tim mampu merancang model 3D untuk estimasi material pengecoran dengan detaling rebar yang akurat. Model 3D terutama membantu untuk memandu prapabrikasi rebar sebelum pemasangan, membantu memilih metode terbaik penempatan rebar, menghitung kuantitas rebar, dan menentukan posisi rebar secara akurat. Hal ini sangat membantu meminimalkan kesalahan dan menghemat waktu selama fase konstruksi JTK. Perubahan disain arsitektural pada model 3D mudah dikelola, yang memungkinkan semua pihak yang bekerja di platform BIM melihat perubahan yang sama secara real-time. BIM merupakan digitalisasi dan visualisasi dari seluruh rangkaian proses konstruksi mulai dari fase perencanaan sampai dengan operasional. Metode BIM terbukti dapat menekan biaya konstruksi serta mengefisiensikan waktu pelaksanaan proyek Jembatan Teluk Kendari.
Inilah perubahan platform proyek pada disain dan teknik arsitektural Jembatan Bahteramas Teluk Kendari yang mengalami pengubahan struktur sehingga mengubah seluruh data proyek menjadi Jembatan Teluk Kendari.
• HENTIKAN PERILAKU MERUNDUNG PARA PEMIMPIN SULTRA
Sekelumit sejarah keterlibatan semua gubernur dalam proses pewujudan infrastruktur JTK dan fakta terkait hal-hal teknik mengenai evaluasi dan temuan pada disain dan konstruksi awal (2015), perubahan disain dan konstruksi (2017), besaran serta penambahan anggaran yang berimplikasi pada seluruh faktor teknik dan non-teknik, termasuk mengubah total nomenklatur, adalah bentuk pelurusan yang harus dimaklumi.
Kenyataan ini seharusnya membuka pemahaman publik mengenai subyek yang dipolemikkan. Tidak seharusnya ada gubernur dan mantan gubernur yang harus dibenturkan dan didiskreditkan terkait JTK. Perundungan yang kini terjadi di media sosial terkait pribadi Gubernur Ali Mazi dan mantan gubernur Nur Alam oleh pihak-pihak tertentu yang bersilangan pendapat sebaiknya segera dihentikan sebelum berimplikasi hukum.
Publik Sultra dan Kota Kendari, seharusnya memandang hal-hal yang lebih esensial lain yang perlu perhatian lebih, seperti banjir tahunan dan siklus banjir 30 tahunan yang terus mengancam Kota Kendari. Pemerintah Provinsi Sultra dan Kota Kendari terus mengupayakan langkah antisipatif dengan membangun check DAM di empat sungai besar yang bermuara di Teluk Kendari, kolam retensi Baruga, kolam regulasi di Nangananga, dan tiga bendungan. Upaya-upaya ini akan menghindarkan kerugian warga Kota Kendari dan kerusakan infrastruktur yang sudah terbangun akibat banjir.
Baik para mantan gubernur sebelumnya, dan Gubernur Ali Mazi, serta mantan gubernur Nur Alam, adalah pihak-pihak yang sudah berikhtiar, mewakafkan waktu, pikiran, dan tenaga, serta bekerja keras agar impian hadirnya sebuah jembatan yang membentang di atas Teluk Kendari akhirnya bisa diwujudkan oleh Presiden Joko Widodo.
Jembatan Teluk Kendari yang telah dibangun oleh Pemerintah Pusat itu, seharusnya disyukuri kehadirannya sebagai penanda bagi daerah lain di Indonesia, bahwa Kota Kendari dan Sulawesi Tenggara pun bisa merebut tempat terbaik dalam gelanggang pembangunan dan kemajuan perekonomian di Indonesia.
Untuk suatu keberhasilan bersama, maka sangat bijaksana dan layak menghaturkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Presiden RI Joko Widodo, Gubernur Sultra Ali Mazi, mantan gubernur Nur Alam, mantan gubernur Laode Kaimoeddin (alm.), mantan gubernur Alala (alm.), mantan gubernur Abdullah Silondae (alm.), dan mantan gubernur Eddy Sabara (alm.). Tanpa jasa-jasa beliau semua, impian kita belum akan terwujud ***