KilasSultra.com BOMBANA-Keluarahan Tombonto Kecamatamn Rarowatu Kabupaten Bombanan menyimpan situs sejarah. Oleh masyarakat setempat, area itu diyakini sebagai lokasi istana Raja Moronene Apua Pauno Rumbia III (Raja Moronene Keuwia ke-26).
Kata Rahawatu berasal dari kata ‘raha’ yang berarti rumah raja dan ‘watu’ yang berarti batu. Jadi Rahawatu berarti rumah mengunakan konstruksi batu yang pada masa itu merupakan rumah batu pertama di wilayah daratan Moronene.
Istana Rahawatu diperkirakan mulai dibangun sekitar tahun 1925. Menulisakan istana itu dibangun atas initiatif Apua Pauno Rumbia III yang terinspirasi dari hasil perbincangan dengan Gerard C. Storm, misionaris Belanda yang juga seorang ahli teknik dan pertanian.
Bahkan sekitar tahun 1923, Apua Pauno Rumbia III sudah mengirimkan beberapa orang pribumi untuk belajar pertukangan dan bangunan ke Jawa Barat atas usulan G.C. Storm. Merekalah yang membangun Rahawatu setelah kembali dari Jawa Barat, sebagaimana dikutip dari Moronene Heritages and Legacies
Berdasarkan dokumentasi foto-foto yang ada, tipe bangunan Istana Rahawatu merupakan perpaduan konstruksi batu dan kayu.
Memiliki pondasi yang terbuat dari susunan batu, lantai semen, dinding bata dipadu dengan papan dan beratap seng.
Pada bagian belakan merupakan bangunan kayu yang dibuat bertingkat. Badan rumah dibuat sejajar dengan sungai kecil yang berada dekat lokasi mengikuti tradisi yang ada bahwa rumah sebagai representasi dunia kecil (microcosmic) harus selaras dengan dengan tatanan alam semesta (cosmos).
Selain menjadi pusat pemerintahan, Istana Rahawatu juga menjadi simbol kemakmuran dan kebanggaan masyarakat Moronene pada masanya.
Kepemimpinan Apua Pauno Rumbia III berhasil membawa sejumlah perubahan yang mendasar. Sekolah dan rumah ibadah dibangun. Pemukiman penduduk mulai ditata.
Mereka yang tadinya hidup di gunung diminta untuk masuk ke area perkampungan dan pertanian yang sudah disiapkan. Persawahan semi-modern (irigasi) mulai diperkenalkan dan pola bertani nomaden juga sudah mulai berkurang.
Namun tragedi berdarah terjadi. Tanggal 23 Juli 1950, Istana Rahawatu diserang oleh sekelompok orang yang dikenal dengan nama “gerombolan badik”.
Penyerangan dilakukan pada saat keluarga kerajaan dalam keadaan berkabung menyebabkan gugurnya 8 orang “tamalaki” (kesatria pengawal kerajaan) yang melakukan perlawanan.
Bukan hanya membunuh, para gerombolan badik juga menjarah isi istana berupa benda-benda pusaka dan koleksi barang antik dari Eropa dan Cina.
Mereka menimbulkan banyak kekacauan di beberapa tempat di Rumbia hingga tahun 1953. Aksi mereka ini bukan murni aksi kriminal tetapi manuver politik.
Kemudian tahun 1957 terjadi lagi gangguan keamanan oleh gerombolan DII/TII dimana pada tanggal 9 Oktober 1957 mereka membumiihanguskan wilayah Taubonto termasuk Istana Rahawatu yang dikenang dengan peristiwa “Taubonto Lautan Api”. Keluarga kerajaan menjadi target pembunuhan dan harus mengungsi menyelamatkan diri.
Sejak kedua peristiwa kelam tersebut, Kerajaan Moronene Rumbia mengalami stagnasi beberapa lama hingga keamanan wilayah Rumbia dipulihkan kembali oleh pasukan MOBRIG.
Kini puing-puing sisa banguan Istana Rahawatu hanya bisa menjadi saksi bisu keganasan dan kebiadaban masa lalu.
Selain puing-puing bangunan yang tersisa, sebagian besar lahan Istana Rahawatu kini menjadi komplek makam raja-raja Moronene dan keluarganya.
Menurut tradisi, makam untuk para raja dan bangsawan terletak di sekitar istana dan untuk rakyat biasa di ladang milik keluarganya.
Berikut adalah makam Mokole/Apua/Raja yang ada di kawasan Rahawatu:
- Sangia Rahawatu (Apua Pauno Rumbia III)
- Sangia Niboo (permaisuri Sangia Rahawatu)
- Sangia Tandole (Apua Pauno Rumbia IV)
- Sangia Rumbia (Apua Pauno Rumbia V)
- Sangia Madinah (Apua Pauno Rumbia VI) – berupa simbol saja karena makam asli berada di Kota Madinah, Arab Saudi). (ADV)