KilasSultra.com-BOMBANA-Menelusur liku hidup hingga menjadi karomah, benar adalah berkah, ini hendak bermufakat, hendak berbicara, telah datang waktunya untuk mengangkat menjadi golongan sara (orang yang dituakan), semakin mengangkat dan menaikkan hingga ke puncak”.
Demikianlah kiranya terjemahan dari sebait Kada pada sesi kedua sebagai urutan kalimat-kalimat penghantar setelah deretan bait pembuka dimulai.
Di sesi ini, seorang nenek, Ina (102) yang menjadi salah seorang pendengar dalam ritual Kada itu, sesekali berkata, “Mesabaako’omo nde’e, eheemo nigau, dakitamo nta rorongee tulurano Tongki Mpu’u Wonua”.
Artinya “Telah datang, sudah mau bermufakat, maka kita akan mendengarkan cerita tentang Tongki Mpu’u Wonua”.
Penulis pun mendalami kalimat yang terlontar dari Ina itu. Namun tanpa diminta, ia menjelaskan telah datang seseorang pembicara utusan leluhur Moronene yang membawa buku yang hendak dibaca oleh penutur dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Amirullah, salah seorang pemuda yang kerap mengikuti ritual Kada itu, lebih jauh menuturkan bahwa yang dimaksud utusan itu adalah beberapa roh yang memiliki tugas masing-masing.
“Ada yang bertugas memberikan penerangan pada tulisan yang tertera pada sayap burung, ada pula roh harimau yang bertugas menjaga keamanan dokumen yang dibaca oleh penutur,” jelasnya.
Amirullah bersama istrinya, Puspita yang mampu menembus dimensi dari dunia ghoib itu, tidak secara jelas memaparkan sayap burung dan harimau dimaksud, tetapi ia menyebutkan yang hadir sebagai pendengar Kada tidak hanya dari kalangan manusia, melainkan juga dari makhluk lain.
Bait-bait penghantar di sesi kemudian berakhir di menit ke 49.26 sebab Hadasyiah tiba-tiba merasa tenggorakannya kering. Beberapa saat beristirahat, kemudian ia melanjutkan lagi tuturannya pada sesi ketiga yaitu kisah raja.
“Huhee ndaa mokole ndoka tama mo’ anu diie o’ onto, hoo da rua alomo ta montotaarako halu ntapi pontongo dasikaranda kai kobirinkadu”.
Terjemahannya “Tersebutlah ada seorang raja yang memiliki kesaktian, telah dua malam ia mengumpulkan dan memasang delapan lapis baju dengan semua persiapan perang”.
Pada kisah raja ini dituturkan bahwa Tongki Mpu’u Wonua adalah seorang raja yang berkedudukan di kawasan Mata Laa Moronene (Mata Air Sungai Moronene) yang melintasi kaki Tangkeno Wawolesea. Sesi ketiga ini, Tongki Mpu’u Wonua Tamano Moronene digambarkan sebagai salah seorang pahlawan yang membawa kejayaan bagi bangsanya dimasa itu.
Sekitar 59 menit menutur kisah raja, kemudian penutur rehat dan minta disuguhkan kopi. Hema yang ditugaskan untuk mengurusi masalah dapur segera bertindak sementara pendengar disuguhkan jagung muda yang direbus.
Berselang satu jam kemudian, lamat-lamat terdengar suara Hadasyiah pertanda sesi keempat akan dimulai. Tiba-tiba terdengar suaranya melengking, namun hanya beberapa saat terjadi kemudian suara itu merata dengan tempo ketukan satu berbanding satu seperti lagu berirama mars.
Di sesi keempat ini, penutur lebih banyak bercerita tentang sistem kehidupan sosial yang beradat dan beradab, seperti tertuang dalam penggalan bait Kada sebagai berikut,
“Puale pada ntama mo’anu onene mekalalo hida tumeka tuka mmoko, mekalalohi nta wammeka tuka mporau tewutinino karuno tewenkado tawano pada ntama mo’anu, kai podedeaho rasaka papedo pele ntandualedo me osie pute”
Di awal bait sesi empat ini penutur mengatakan “tersebutlah para kesatria moronene sering terjadi silang pendapat di antara mereka. Namun disuatu masa mereka mendengarkan nasehat dari raja untuk berdamai dan tidak ada permusuhan diantara mereka,”.
Sekitar enam puluh menit penutur menuturkan ceritanya di sesi keempat ini atau waktu telah menunjukkan jam 2.30 Wita. Setelah rehat sekitar 45 menit, kemudian Hadasyiah melanjutkan tuturannya yaitu masuk pada sesi kelima.
Di sesi kelima ini adalah sesi penutup yang didahului dengan adab mohuletako (mengembalikan). Menurut Maslan (39) pada sesi terakhir ini, yang dikembalikan adalah roh yang telah hadir mendengarkan Kada itu.
“Selain para pendengar, roh yang dikembalikan juga adalah yang telah ditugasi untuk membuka lembaran-lembaran sayap burung bertuliskan syair kada yang tidak terlihat dengan kasat mata,” imbuh Maslan.
Tradisi lisan Kada ini lanjut Maslan, disebut tertata laksana buku, bersebab pada tiap sesi adalah berurutan sebagaimana sebuah buku yang juga memiliki kalimat pembuka, disusul kata-kata pengantar, kemudian isi (pembahasan).
“Pada tahap pembahasan ini, Kada mengisahkan tentang raja-raja moronene yang dilanjutkan dengan pembicaraan mengenai adat,” terang Maslan. (ADV)