Banner Iklan

Rumah Tradisional Moronene

KilasSultra.com-BOMBANA- Definisi rumah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bangunan untuk tempat tinggal atau bangunan pada umumnya. Bagi masyarakat adat, rumah dianggap sebagai dunia kecil (microcosm) sehingga rancangan, tata ruang dan dekorasinya merefleksikan gambaran masyarakatnya dan alam semesta (cosmos atau wonua).

Rumah juga menjadi simbol budaya yang ditonjolkan, selain merupakan simbol dari status sosial juga menjadi obyek penting dalam menjaga kesinambungan spiritual dengan para leluhur.

Budayawan Kasra Jaru Munara dalam tulisannya menyebutkan masyarakat suku Moronene, terdapat 3 jenis utama rumah berdasarkan bentuk dan fungsinya yaitu: raha (untuk raja dan bangsawan), laica (untuk masyarakat umum), bantea (gubuk atau tempat tinggal sementara ketika hendak membuka ladang).

Ada juga tempat sementara yang disebut olompu (pondok tempat istirahat di ladang) dan pombulu (pondok kecil yang dibuat di atas pohon).

Kemudian berdasarkan aspek konstruksi, pada umunya berupa rumah panggung dengan 2 jenis teknik perakitan yaitu: laica ntinii (bersifat permanen, memakai kayu balok yang dipahat “pina’oti” dan pasak) dan laica nkinoko (bersifat tidak permanent, memakai bambu atau kayu bulat dan tali dengan simpul mati “kinalo”). Dinding rumah biasanya dipasang dengan kemiringan tertentu dimana bagian atas lebih condong ke arah luar, mirip dinding kampiri (lumbung) sebagai teknik anti panjat.

Adapun bentuk geometri atap untuk raha dan laica dikenal bentuk pelana dan perisai. Bentangan atap selalu hampir menutupi badan rumah sehingga dinding rumah tampak hanya sebagian. Ruang atap merupakan representasi dari dunia atas (langit) sedangkan ruang bagian tengah adalah tempat kehidupan dan bagian kolong rumah adalah representasi dunia bawah.

Orientasi bangunan rumah juga selalu diselaraskan dengan tatanan alam semesta (cosmos). Badan rumah dibuat membujur arah utara-selatan seperti yang juga dijumpai pada rumah tradisional suku lain seperti Sumba, Batak, Minangkabau, Toraja. Orientasi utara-selatan akan membuat matahari mengorbit badan rumah seolah matahari terbit dan terbenam mengikuti lereng atap dengan posisi tertinggi ada pada bubungan atap. Bilamana terdapat sungai, maka posisi sungai berada di sisi timur dan arah aliran sungai sejajar dengan badan rumah.

Namun pada zaman kolonial, pemerintah Belanda mengharuskan semua penduduk menempati kawasan perkampungan sehingga arah bangunan rumah disesuaikan dengan badan jalan. Ada juga yang mulai berpedoman pada Fengshui (ilmu topografi asal Tiongkok) atau mengutamakan pencahayaan terhadap ruangan dalam rumah.

 

 

Sebagai salah satu etnis yang kental dengan tradisi, adat dan budaya, suku Moronene juga memberikan beberapa ornamen sebagai seni budaya dan simbol-simbol adat yang menandakan status pemilik rumah. Struktur sosial dalam masyarakat suku Moronene terdiri dari: mokole (raja, bangsawan), limbo (para pemangku adat), tamalaki atau lampio’o (kesatria, pengawal), miano (rakyat biasa), dan sangkinaa atau ata (budak, pesuruh).

Baca Juga  Asal usul Corak Pakaian Adat Wanita Moronene

Untuk rumah mokole (raja), bagian “wumbunga” (bubungan) dibuat melengkung meyerupai tanduk kerbau dan terdapat tali ijuk yang dipilin yang terbentang dari satu ujung “tandutandu” ke ujung yang lainnya. Kemudian di bagian tengah bentangan tali tersebut terdapat seuntai tali ijuk yang menjulur ke bawah tapi tindak menyentuh tanah.

Tali ijuk ini melambangkan tali pusar dan dipercaya sebagai penangkal roh jahat. Lalu pada bagian “tandutandu” atau “singkua” (puncak dari sudut segitiga sama kaki dari rangka atap), diberi tanduk kerbau dan “lopoi” (genta angin). Bagi Sebagian besar masyarakat adat di nusantara, tanduk kerbau adalah simbol kekuasaan, kebesaran atau kemakmuran.

Gaya bubungan atap melengkung ini mirip dengan rumah tradisional Mekongga, Toraja, Batak dan Minangkabau. Namun yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah balai pertemuan milik suku-suku di Mindanao Utara, Filipina juga memiliki bubungan berbentuk tanduk kerbau

Selain tanduk kerbau, rumah mokole bisa juga dilengkapi dengan ornamen berupa ukiran atau lukisan yang disebut “talulu” berupa kepala naga. Untuk rumah golongan limbo dan tamalaki, “tandutandu”-nya diberi ornamen “talulu” berupa kepala burung kakatua putih yang disebut “tandungkeakea”. Sementara untuk rumah masyarakat biasa, “tandutandu”-nya polos tanpa ornamen.

Ornamen “talulu” juga diberikan pada bagian tertentu bangunan rumah seperti pada “pewiwi” (lesplank) atau dinding rumah.

Adapun corak atau motif “talulu” yang digunakan berbentuk pola yang berulang seperti motif “kuku karambau”, “popae manu”, “burumpaku”, dan “kinalawa” menggunakan kombinasi warna yang menonjol (putih, kuning, merah, hijau/biru, hitam).

Kemudian rumah yang menggunakan model atap pelana, terdapat bagian “wune” yaitu bidang segitiga antara dinding dan pertemuan atap (orang arsitek menyebutnya gevel atau gable dan orang bugis menyebutnya timpaklaja). Untuk rumah mokole, wune dibuat berjenjang tiga biasanya menggunakan bahan papan. Rumah yang lain, memiliki “wune” tak berjenjang dan ada juga yang menggunakan bahan yang sama dengan atap atau wune-nya menyatu dengan ujung atap.

 

 

Sebagai rumah panggung, bangunan rumah dilengkpi dengan tangga. Awalnya tangga terbuat dari batang pohon seperti yang dijumpai pada rumah tradsional suku Lore dan Tambi di Sulteng atau suku Dayak. Tangga untuk golongan bangsawan (mokole atau anamea) disebut “esa sapana”, sedikit melengkung dan dihiasi dengan ornamen “talulu” dengan jumlah alur (undakan) sebanyak tujuh. Tangga untuk yang umum disebut “esa manu” menggunakan kayu yang lurus tanpa ornamen dengan jumlah alur hanya lima. Seiring dengan waktu, model tangga batang kayu

Baca Juga  Legenda Bombana dijuluki Negeri Dewi Padi

diganti dengan model anak tangga tapi tetap mengikuti aturan yang sama.

Masih ada beberapa bagian rumah yang juga memiliki keunikan dan nilai budaya tersendiri seperti aturan jumlah tiang rumah, tata letak ruangan dalam rumah, dan lain-lain. Namun pembahasannya akan dilakukan dalam tulisan terpisah.

 

Istana Raja Moronene

 

“Raha” adalah nama yang digunakan untuk rumah atau kediaman raja (Mokole) dan keluarganya termasuk keluarga bangsawan. Dalam bahasa yang umum “raha” bisa diartikan sebagai istana bagi raja.

Sebagaimana ungkapan dalam kada yang berbunyi “tandu tanduno raha singkuano kamali wumbungano malige”. Kata “raha” juga dipakai oleh suku Mekongga, Mori dan Bungku (Sulteng) dan Erai (Maluku) yang kemungkinan berasal dari kata “vahay” rumpun Proto Malayo-Polynesian. Sepintas kata “raha” seolah berasal dari kata sangsekerta “graha” namun “graha” memiliki arti sakit. Kata sangsekerta untuk rumah adalah “grha” (dibaca griya).

Begitupula “kamali” juga dipakai oleh suku Hawu (Sumba) dan Tagalog (Filipina), merujuk kepada bangunan yang besar. Sementara kata “malige” dijumpai dalam bahasa Jawa yang berarti mahligai (tempat kediaman raja dan keluarga dalam istana) yang kemungkinan berasal dari kata “malikai” (sangsekerta), merujuk kepada rumah yang sangat besar. Seperti diketahui, Kamali dan Malige menjadi nama istana dan kediaman Sultan Buton.

Untuk itu masyarakat Moronene mengenal kata “Rahawatu” sebagai nama istana Sangia Intera (Raja Moronene Keuwia, Pauno Rumbia) di Taubonto. “Rahawatu” berarti rumah batu yang pada masa itu merupakan rumah batu pertama di wilayah daratan Moronene.

 

Lalu kata “Rahadopi” sebagai nama istana yang pertama kali dibangun oleh pendiri Kerajaan Moronene Kabaena. “Rahadopi” berarti rumah papan. Kini Rahadopi menjadi nama desa di Kabaena.

 

Rumah Adat Moronene

 

Sejatinya rumah adat adalah rumah tradisional yang memiliki cirikhas khusus yang mewakili budaya dari masyarakat adat yang ada. Penamaan rumah adat di beberapa suku yang ada di nusantara biasanya berdasarkan nilai historisnya atau fungsi sosial, seperti :

  • Malige, Buton – istana Sultan
  • Tongkonan, Toraja – tempat duduk bersama
  • Dulohupa, Gorontalo – tempat berkumpul
  • Bola Soba, Bugis Bone – rumah persahabatan
  • Langkanae, Luwu – istana Raja
  • Balla Lompoa, Makassar – rumah besar

Bagaimana dengan nama rumah adat Moronene? Hingga kini belum ada penamaan yang baku. Kalau mengikuti kebiasaa yang sudah ada, maka ada dua opsi yaitu:

  • Kongkosa – tempat berkumpul
  • Rahampu’u wonua – rumah induk negeri (KJM/ADV)

 

Tulis Komentar