Pergulatan Hukum dalam pelaksanaan pilkada dengan cara Cara E-Voting di tahun 2024
Oleh : SYACHRUL LUKMAN,S.Sos
Terdapat beberapa istilah untuk menyebut cara pengisian jabatan di pemerintahan daerah. Sebagai bagian dari otonomi daerah berdasarkan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengisian jabatan kepala daerah menggunakan istilah pemilihan kepala daerah atau yang dikenal dengan sebutan “PILKADA” .
Selain istilah Pilkada, dikenal juga dengan istilah Pemilukada, atau Pemilihan. Sistem pemilihan langsung memiliki kelebihan dibandingkan dengan sistem perwakilan atau tidak langsung.
Pertama pemilihan kepala daerah secara langsung memberikan legitimasi yang sangat kuat dari masyarakat bagi kepala daerah yang terpilih.
Kedua, karena memiliki legitimasi langsung dari rakyat, kepala daerah dan wakilnya tidak terikat oleh partai-partai di legislatif. Kepala daerah dan wakilnya tidak bisa dimakzulkan oleh legislatif.
Ketiga, pemilihan kepala daerah langsung memberikan kesempatan luas kepada masyarakat untuk memberikan penilaian langsung kepada calon-calon. Mereka yang benar-benar berkualitas di mata rakyat, merekalah yang bakal dipilih.
Keempat, sistem pemilihan langsung oleh rakyat akan mengurangi distorsi. Rakyat bisa langsung menilai dan memutuskan calon yang akan dipilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah beberapa kali menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang. Pasal 201 ayat (8) yang berbunyi”Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”.
Hal ini jelas memerintahkan bahwa akan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah serentak sebayak 34 (tiga puluh emapat) provinsi, 415 (empat ratus lima belas) kabupaten dan 93 (sembilan puluh tiga) kota di seluruh Indonesia.
Bercermin kepada pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2019 yakni banyaknya pelaksana penyelenggara pemilu baik dari KPU, Bawaslu bahkan TNI/Polri dimana terdapat total ada 894 (delapan ratus Sembilan puluh empat) petugas yang meninggal dunia dan 5.175 (lima ribu seratus tujuh puluh lima) petugas mengalami sakit diakibatkan oleh kelelahan dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemilu yang panjang, dan jumlah pemilih yang terlalu banyak di dalam 1 TPS , belum lagi penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Serentak Tahun 2020 di tengah pandemi dimana sampai sekarang penyebaran virus Covid-19 belum juga selesai, membuat gagasan pelaksaan pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota tahun 2024 menggunakan cara e-voting.
Pasca di keluarkannya RUU Pemilu dari Prolegnas Prioritas 2021 kemarin membuat pertanyaan besar, apakah dimungkinkanpelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota tahun 2024 menggunakan cara e-voting dengan menggunkan dasar hukum pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang.
Sejarah awal mencetusnya kemungkinan pelaksaan e-voting dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dimulai dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 147/PUU-VII/2009 tanggal 30 Maret 2010 atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dengan amar putusan yang berbunyi:
• Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
• Menyatakan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) adalah konstitusional bersyarat terhadap Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga kata, “mencoblos” dalam Pasal 88 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diartikan pula menggunakan metode e-voting dengan syarat kumulatif sebagai berikut:
a. tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil;
b. daerah yang menerapkan metode e-voting sudah siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang diperlukan; Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi atas putusan tersebut antara lain:
• bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan memperhatikan aspekaspek hubungan antarsusunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah, dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara;
• bahwa dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui pemilihan langsung, cara pemungutan suara merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan kualitas demokrasi. Cara pemungutan atau pemberian suara yang dapat meminimalkan kesalahan penghitungan suara, pemilih ganda, dan pelanggaran-pelanggaran lain, akan meningkatkan kualitas pemilihan umum;
• bahwa isi Pasal 88 UU 32/2004 mengenai tata cara pemberian suara hanya diartikan dengan cara mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara dan tidak bisa melalui metode lainnya termasuk e-voting, maka Pasal a quo adalah tidak sejalan dengan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, karena para Pemohon terhalang haknya untuk memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya;
• Penggunaan cara e-voting harus berdasarkan pertimbangan objektif, yakni kesiapan penyelenggara pemilu dan masyarakat, sumber dana dan teknologi, serta pihak terkait lain yang benar-benar harus dipersiapkan dengan matang. Atas dasar asas manfaat, Mahkamah menilai bahwa Pasal 88 UU 32/2004 adalah konstitusional sepanjang diartikan dapat menggunakan metode evoting dengan syarat secara kumulatif sebagai berikut:
• tidak melanggar asas luber dan jurdil;
• daerah yang menerapkan metode e-voting sudah siap baik dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia, maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang diperlukan ***