KilasSultra.com-BOMBANA- Wilayah Moronene terbagi tiga bagian yaitu Lelentula (kini Poleang), Keuwia (kini Rumbia) dan Kotu’a (kini Kabaena).
Pembagian wilayah ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 1200 M (menjelang akhir hayat Apua Nungkulangi). Bila merujuk pada rentang waktu abad ke-14 maka pada zaman Sangia Tantuu berkuasa di Keuwia, Sangia Lawu (Sugilara) di Kabaena dan Sangia Moro di Polea.
Budayawan Moronene, Kasra Jaru Munara menuliskan beberapa peristiwa sejarah yang diduga kuat ikut memberikan andil dalam proses terbentuknya kerajaan di wilayah Moronene tersebut, diantaranya:
- Apua Nungkulangi pernah menolak membayar upeti ke Luwu. Akhirnya dia terbunuh saat menghadapi serbuan pasukan Opu Topayung (Penguasa Luwu). Peristiwa ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 1200 M.
- Sekitar tahun 1300 M, Riri Sao atau dikenal dengan nama Elu Ute Ntoluwu (putra Apua Nungkulangi) menikah dengan Siti Abiah, putri Opu Topayung. Sejak saat itu Riri Sao menjalin hubungan kerjasama dengan Luwu bahkan wilayah kekuasaan Riri Sao (Polea) pernah menjadi bagian dari Luwu (vassal) beberapa lama
.Terbentuknya kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan (Luwu, Gowa, Bone) tahun 1300 -1330M serta terbentuknya Kerajaan Buton tahun 1332 M dan Kerajaan Wuna (Muna) tahun 1371 M pasti akan membuat para elit Moronene untuk mengambil langkah antisipasi guna mengamankan wilayah teritorialnya.
- Pada masa Raja Buton III berkuasa sekitar awal abad ke-15 (sekitar tahun 1425), terjadi perselisihan dengan Moronene Keuwia karena Kerajaan Buton menghukum mati Sangia Lerentapupu. Paska kejadian ini, Moronene Keuwia menolak memberikan “sorau” (upeti) kepada Buton yang berarti Moronene Keuwia sudah memiliki kesiapan membuka konfrontasi dengan Buton. Hubungan Buton dan Moronene Keuwia baru membaik pada masa Raja Buton V (Raja Mulae) berkuasa.
- Pada pertengahan abad ke-15 (tahun 1450 M) kerajaan-kerajaan Moronene sudah memiliki peran yang diperhitungkan oleh kerajaan tetangga. Pada masa itu kerajaan-kerajaan Moronene mengambil langkah politik bekerjasama (“naddoangi”) dengan Kerajaan Bone.
- Raja Buton IV (Raja Tua Rade) sekitar akhir abad ke-15 (sekitar tahun 1475 M) menetapkan La Manjawari sebagai Sapati di Kabaena.
- Kerajaan Buton dan Moronene membuat perjanjian bilateral (kerjasama) pada zaman Raja Buton V (Raja Mulae) berkuasa yaitu pada tahun 1513 yang difasilitasi oleh Sapati Manjawari.
- Pada masa pemerintahan Raja Buton V dan Raja Buton VI, Kerajaan Buton telah menjalin hubungan politik dengan Luwu, Konawe dan Muna atau Pancana. Melalui perkawinan “politik” antara putra-putri raja, daerah-daerah tersebut berada di bawah pengaruh kekuasaan Buton
Demikian pula daerah Poleang dan Rumbia di selatan jazirah Sulawesi Tenggara mengakui kekuasaan kerajaan Buton. Namunpun demikian, Moronene tidak dinggap sebagai wilayah Bonto atau Barata oleh Kerajaan Buton melainkan tetap diakui sebagai wilayah Moronene.
Wilayah Moronene Kabaena dipimpin oleh Sapati, Moronene Rumbia dan Poleang masing-masing dipimpin oleh Mokole. (Sumber: Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, Depdikbud, 1996).
Tanah Moronene yang luas dan subur, memiliki sumber daya alam yang melimpah berupa hasil hutan dan merupakan penghasil padi. Moronene merupakan salah satu dari tiga jalur perdagangan yang mulai berkembang pada masa itu yang menghubungkan Ternate-Buton-Gowa.
Kondisi ini jelas menjadi incaran dari pihak luar yang ingin menguasai atau menjalin kerjasama. Apalagi kerajaan-kerajaan disekitarnya saling merebut pengaruh dan memiliki ambisi ekspansi wilayah. Maka adalah logis apabila para elit Moronene melakukan perubahan-perubahan yang dianggap perlu khusunya menyangkut sistem pemerintahan guna mempertahankan wilayahnya.
Proses transisi dari sistem pemerintahan tradisional (heredity chieftain) ke sistem kerajaan diperkirakan melalui beberapa bentuk (fase) sesuai dengan kondisi yang ada saat itu.
Kata Mokole mulai dipakai untuk Raja namun sistem pemilihan Mokole tetap mengikuti tradisi sebelumnya (berdasarkan pada garis keturunan atau aristokrasi) dan struktur/susunan perangkat kerajaan dimodifikasi sesuai kebutuhan khusunya pengamanan wilayah teritorial.
Hali ini dapat dilihat dengan adanya beberapa perbedaan struktur perangkat kerajaan dari masa ke masa. Sebagai contoh, berikut ini adalah gambaran susunan perangkat Kemokolean Sangia Wolengke ketika menjabat Mokole Keuwia tahun 1520 M:
- Mokole (Raja)
- Bonto: penasehat atau pendamping utama Mokole, mewakili Mokole untuk masalah adat istiadat di tobu (perkampungan)
- Tamalaki: Pengawal Mokole dan bertanggungjawab terhadap keamanan wilayah dan melaksanakan tugas “Monga’e (memburu kepala).
- Pa’aluma: mengawasi wilayah darat dan perbatasan. Menjadi bantal (“pa’aluma) Mokole jika Mokole terbunuh.
- Kapitalao: penghubung Mokole dengan Kerajaan Buton. Menjadi pelapis dada Mokole bila Mokole hendak ditikam.
- Sabandara: mengawasi wilayah pesisir dan laut.
Bentuk lain dari susunan perangkat Kemokolean beberapa tahun setelahnya atau format yang diterapkan di Poleang dan Kabaena menunjukkan adanya perbedaan atau variasi (adv)