Banner Iklan

Mengulas Pakaian Adat Moronene

KilasSultra.com-BOMBANA- Menurut definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pakaian adat adalah pakaian resmi khas daerah. Disebut khas karena ia merupakan sesuatu yang unik dan melambangkan sebuah identitas (jati diri).

Identitas lazimnya mewakili budaya, adat dan tradisi dari suatu etnis atau suku asli yang mendiami daerah yang dimaksud. Lalu istilah pakaian tradisional juga sering digunakan sebagai sinonim dari pakaian adat karena adat dan tradisi merupakan satu kesatuan.

Pakaian adat suku Moronene memiliki bentuk, model atau desain unik yang mengakar pada budaya, adat istiadat yang berkembang dari masa lampau dan tidak lepas dari sejarah perjalanan nenek moyang suku Moronene bersama dengan suku-suku lainnya yang ada di nusantara.

Tidak bisa dipungkiri bisa saja ada beberapa kemiripan satu dengan yang lainnya mengingat suku-suku yang ada di nusantara berasal dari nenek moyang sama.

 

 

Pakaian adat suku Moronene sejatinya bukanlah pakaian yang digunakan sehari-hari melainkan pakaian formal yang menjadi kebanggaan dan hanya digunakan dalam kegiatan khusus seperti upacara atau prosesi adat seperti pelantikan Apua/Mokole/Raja, musyawarah adat dan perkawinan.

Penggunaan pada prosesi perkawinanpun dibatasi hanya pada saat prosesi/ritual adat saja. Dalam perkembangannya, pakaian adat mulai dibolehkan juga dipakai dalam sebuah kegiatan pagelaran seni dan budaya atau acara khusus kenegaraan/pemerintahan.

Di luar konteks yang disebutkan di atas, penggunaan pakaian adat tidak diperkenankan demi menjaga nilai-nilai keluhurannya.

Untuk pakaian adat pria disebut “kambalala”. Secara garis besar menyerupai model pakaian tradisonal Melayu (kemeja dan celana) termasuk penggunaan sarung di pinggang

Yang menjadi pembeda dan ciri khas adalah bentuk ikat kepala (destar) yang digunakan, orang Moronene menyebutnya “taali”. “Taali” bukanlah sekedar pengikat kepala melainkan mengekspresikan sebuah simbol.

Baca Juga  Pesona Alamiah, Air Terjun TANGKENO “Negeri di Awan”

 

 

Sehingga ada perbedaan bentuk ikatan “taali” untuk raja, kalangan bangsawan dan masyarakat umum (akan dijelaskan terpisah pada tulisan berikutnya). Penggunaan assesories lainnya biasanya berupa “pekokori” (ikat pinggang) dan “tobo” (keris).

Budayawan Kasra Jaru Munara menuliskan tradisi, “tobo” hanya digunakan oleh Raja dan bangsawan, disematkan di pinggang sebelah kiri, kadang agak ke arah tengah. Bagi Mokole/Raja, pakaian adat menjadi pakaian keagungang (kebesaran), sehingga dibuat dari bahan yang terbaik serta ada tambahan lain seperti jubah dan regalia kerajaan.

Untuk pakaian adat wanita disebut “kombo” (atau taikombo). Terdiri dari dua bagian yaitu baju berupa tunik (namun tidak longgar) dan sarung. Pada bagian bawah baju (depan dan belakang) memiliki potongan menyerupai ekor burung srigunting atau drongo (Dicruridae).

Burung ini tersebar luas di Asia Tenggara hingga Australia dimana salah satu spesiesnya yaitu srigunting gunung (Dicrurus montanus) merupakan satwa endemik di Sulawesi. Burung srigunting termasuk hewan yang cerdik karena dia bisa meniru suara burung predator untuk menakut-nakuti saingannya dalam mencari makanan.

Dia juga sangat protektif terhadap telur atau anaknya bahkan berani melawan burung yang lebih besar atau hewan lain sekalipun apabila kesalamatan anaknya terancam. Karakter yang sama dimiliki oleh seorang ibu dalam masyarakat Moronene. (KJM/ADV)

 

 

Tulis Komentar