.KilasSultra.com- BOMBANA- Sangia Dowo dilahirkan pada tahun 1875 di Toburi. Ia adalah anak ketiga dari delapan bersaudara dari Sangia Toburi (Mokole Sura) dan Wahoga. Sangia Dowo dinobatkan sebagai Raja Moronene Poleang pada tahun 1906. Dan Wafat 4 Desember 1912. Makam terletak di Toburi.Pada bulan Maret 1911,
Kisah kepahlawanan Sangia Dowo diawali ketika Belanda mengirim pasukannya ke Poleang yg dipimpin oleh Kapten De Jongens sebagai tindakan represif terhadap Sangia Dowo (Raja Moronene Poleang) yg menolak bekerjasama dengan Belanda.
Pasukan De Jongens datang dari arah Kolaka dan merapat di sungai Laa Mpe Wuaa (tempat orang ambil pinang pada masa itu) di Boepinang. Lalu mereka bergerak menuju Toburi, ibu kota Kerajaan Poleang. Kehadiran pasukan Belanda tsb sampai ke telinga Sangia Dowo yg kemudian segera memerintahkan pimpinan-pimpinan pasukannya untuk melakukan penghadangan.
Pimpinan pasukannya yg terkenal adalah Eke atau Sangia Ntina (kakak perempuan S. Dowo), Mbohogo, Ule, dan Inggani.
Pertempuran antara kedua pasukanpun terjadi di sekitar Toburi. Pasukan kerajaan dilengkapi dengan senapan dan meriam yg pernah diperoleh dari Portugis. Mereka bertempur dengan gagah berani. Suara “tulia” sesekali mengaung membakar semangat mereka. Tulia adalah semacam terompet yg terbuat dari seruas bambu duri khas Moronene dan dihiasi dengan pucuk “wiu” diujungnya agar suaranya lebih nyaring.
Pasukan Belanda terdesak. Mereka tidak menguasai medan. Kapten De Jongens terpaksa menarik mundur pasukannya. Tapi mereka terus dikejar dan dihujani peluru. Kapten De Jongens lalu merubah taktik perangnya dengan memerintahkan pasukannya utk tidak membalas tembakan. Merekapun berhasil mengelabui pasukan kerajaan seolah-olah mereka telah mundur dari medan pertempuran. De Jongens dan pasukannya diam-diam menyingkir ke Labua utk membuat pertahanan di sana.
Pertempuran demi pertempuran terjadi antata kedua pasukan yg menimbulkan cukup banyak korban dan kerugian material. Hingga suatu hari Kapten De Jongens menyusun sebuah siasat. Dia lalu mengutus seorang juru bahasanya menghadap Sangia Dowo guna menyampaikan permintaan gencatan senjata dan perundingan damai.
De Jongens mengusulkan pertemuan di Bungingkalo (sekarang Panjonga’e) sekitar Labua. Usulan tersebut disetujui oleh Sangia Dowo karena lokasi pertemuan masih dalam wilayah kerajaannya.
Pada hari yg telah ditentukan, Sangia Dowo pun berangkat dengan dikawal oleh 17 orang tamalaki (ksatria) pilihan ke lokasi perundingan. Kapten De Jongens dikawal oleh beberapa orang anak buahnya sementara anggota pasukannya yg lain diperintahkan menunggu di Boepinang.
Dalam perundingan Kapten De Jongens memperlihatkan keramahan dan kewibawaannya. Sangia Dowo terkesan dan melihat sosok yg cerdik. Dia menjuluki De Jongens dengan “tandu mongkara” yaitu seperti seekor kerbau jantan dengan tanduk gagah perkasa namun berbahaya. Perundingan berlansung cukup alot hingga 18 hari. Sangia Dowo menolak sistim kerja rodi dan perpajakan Belanda karena akan menyengsarakan rakyatnya.
Materi pokok perundingan yg akhirnya disepakati adalah sbb:
Persyaratan dari Raja Poleang ke Belanda:
1.Semua kerugian raja berupa harta dan pangan harus diganti dalam tempo 2 X 30 hari.
2.Benteng dan Istana Raja yang telah rusak akibat perang harus diganti dalam waktu 12 X 30 hari.
3.Belanda tidak boleh langsung memerintah rakyat raja serta memungut pajak.
4.Belanda tidak boleh berdiam (membuat markas didaerah Toburi)
Persyaratan Belanda kepada Raja Moronene:
- Raja Moronene harus membuat jalan (lebar 5m) dari Labua ke Toburi.
- Belanda boleh berdagang hasil hutan tetapi distribusi di tangan raja.
- Belanda boleh membuka lahan disekitar Labua
Setelah kesepakatan dicapai maka diaturlah sebuah perjamuan. Namun tak disangka De Jongens meyusun sebuah rencana keji untuk membunuh Sangia Dowo. Dia menugaskan seseorang utk memberikan racun pada makanan Sangia Dowo pada saat acara perjamuan. Menurut cerita, Sangia Dowo sengaja diracun karena dianggap memiliki ilmu kebal peluru.
Tanggal 4 Desember 1912, perjamuan makanpun berlangsung. Tanpa curiga sedikitpun, Sangia Dowo memakan hidangan yang telah disiapkan untuknya. Seketika itu juga dia kehilangan keseimbangan dan tersungkur. Dia pun baru menyadari bahwa ia telah diracun. Dia terkulai di pangkuan Mbohogo yang mengawalnya. Di sela hembusan nafas terakhirnha, dia sempat mengucapkan kata-kata patriotiknya yg hingga kini menjadi memori kolektif orang Moronene terhadap peristiwa kematiannya:
“Mate Yahoo Poweweu, Sawali Pekulepi Yahoo Dosa Owosee” yang artinya “mati adalah soal biasa tetapi munafik adalah dosa besar”
Jenazah Sangia Dowo diusung pulang ke istana dengan perjalanan yg cukup jauh. Dari kisah inilah asal gelar Sangia Nilemba (raja yg diusung) disematkan untuk Sangia Dowo. Semangat para pengawal tetap membara untuk menghantarkan Raja mereka ke istananya. Kerajaan Moronene Poleang, Rumbia dan Kabaena dilanda duka yg sangat mendalam.
Acara pemakaman dilangsungkan secara adat kebesaran di Toburi. Terompet “tulia” ditiupkan yg diselingi dentuman bunyi gong masing-masing 3 kali untuk mengiringi kepergian Sangia Dowo menuju sang khalik. Dia wafat umur 37 tahun.
Rakyat Poleang berkabung atas kepergian sang Raja. Sangia Dowo masih dibutuhkan rakyatnya namun takdir menentukan lain. Senjata perang Sangia Dowo yg diberi nama “Langka Wulu” (taa = parang) menjadi warisan perjuangannya. Para pemimpin pasukanpun bertekad untuk melanjutkan perjuangan pahlawan yang mereka sangat kagumi itu.
Perjuangan Sangia Dowo dilanjutkan oleh Mbohogo dan I Ule. Mereka melakukan perang gerilya di hutan-hutan. Namun pada suatu hari Belanda mengepung tempat tinggal Mbohogo. Dia serta merta ditawan menggunakan rantai besi. Selang beberapa lama dalam tahanan Belanda,
dia lalu dibuang ke Nusakambangan dan menemui ajalnya di tiang gantungan. Tak lama kemudian Ule juga tertangkap oleh Belanda di gunung Pusu’ea (Panambea) dan dia dibawa ke Baubau sebagai tawanan perang dan juga harus menemui ajalnya di tiang gantungan. Oleh pihak kerajaan dia diberi gelar Dalako i Wolio. Sangia Ntina (Eke) lebih dulu wafat di awal tahun 1912 karena sakit di Tiwoa. Makamnya ada di Toburi.
Tahun 1913, Belanda mengukuhkan pemerintahan sistim distrik di wilayah kekuasaan Kesultanan Buton yang terdiri dari 19 distrik (3 distrik di antaranya adalah Rumbia, Poleang dan Kabaena). Pengangkatan Kepala Distrik dan Raja-raja di Rumbia, Poleang dan Kabaena harus mendapat restu dari pemerintah kolonial Belanda. Namun perlawanan terhadap hegemoni Belanda di Sulawesi Tenggara tetap berlanjut hingga zaman pendudukan Jepang.
Walaupun Sangia Dowo telah tiada namun dia mewariskan jiwa patriot yg patut diteladani. Dia bukan saja seorang pahlawan yg berkharisma tapi juga memiliki sejumlah sifat dan karakter leadership disematkan kepadanya oleh rakyatnya:
- Moseka (gagah berani)
- Pintara (cakap/pintar)
- Pinometako (disegani)
- Tinangkoro (berwibawa)
Walaupun perjuangan Sangia Dowo melawan pemerintah kolonial Belanda tidak selama tokoh pejuang kemerdekaan yg lainnya, Sangia Dowo layak dianugerahi PAHLAWAN NASIONAL mewakili Tomoronene. (KJM/ADV)