Banner Iklan

Mengenal Perlengkapan Perang Suku Moronene

KilasSultra.com-BOMBANA-Sepanjang perjalanan dalam mencari tanah dan negeri yang diimpikan, leluhur suku Moronene bersama dengan suku-suku lain dalam rumpun bangsa Austronesia dipastikan mengalami banyak konflik yang berujung pada peperangan.

Konflik umumnya dipicu oleh kepentingan untuk mempertahankan hidup dan eksistensi komunitas berupa wilayah hunian dan tempat untuk berladang atau berburu.

Apalagi tradisi berburu atau memenggal kepala (dalam Bahasa Moronene disebut monga’e) menjadi simbol kedigdayaan sebuah komunitas menyebabkan konflik antar klan atau suku menjadi berkepanjangan.

Sehingga eksistensi sebuah komunitas sangat ditentukan oleh kemampuan dalam berperang untuk menaklukan lawan atau mempertahankan diri dan wilayah. Mereka sering dihadapkan hanya pada dua pilihan: hidup atau mati.

Pada masa itu, masing-masing memegang teguh petuah leluhur bahwa mereka yang mati mempertahankan harga diri akan mendapatkan kehormatan berkumpul dengan para leluhur di alam ruh dan mereka yang hidup akan beroleh lebih banyak kekuatan (kesaktian).

Mereka juga percaya bahwa kepala adalah tempat bersemayamnya ruh sehingga memenggal dan mengambil kepala lawan kelak akan menjadikan ruh lawan sebagai budak di alam ruh. Dalam kepercayaan mereka, menyenangkan ruh para leluhur adalah mutlak agar tidak mendapatkan kutukan. Mereka tidak mengenal konsep neraka dan surga.

Konflik komunal, baik antar klan atau suku mulai meredup setelah konsep ketuhanan mulai dikenal melalui penyebaran ajaran agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen. Semetara itu, kehadiran Belanda sebagai bangsa penjajah menjadikan beberapa suku atau kerajaan di nusantara “berdamai” dan bersatu untuk melawan.

 

 

Dan walaupun tradisi berburu kepala secara resmi dilarang oleh Belanda akan tetapi tradisi tersebut masih terus dilakukan secara sporadis hingga awal abad ke-20 di beberapa tempat seperti di Sulawesi, Kalimantan, Nias, Sumba, Filipina, dan Taiwan (Taiwan diyakini oleh sejumlah ahli sejarah sebagai tempat asal mula suku bangsa Austronesia).

Baca Juga  Mengenal Tarian Morengku Etnis Moronene

Sebuah film layar lebar berjudul “Warriors of the Rainbow – Seediq Bale” mengangkat kisah nyata kehidupan suku-suku tua di Taiwan yang masih menjalankan tradisi “memenggal kepala” hingga tahun 1930-an dan bagaimana seorang pemimpin suku Seediq menggalang persatuan dari beberapa suku dan membangkitkan semangat heroisme (kepahlawanan) melawan penindasan Jepang.

Mereka rela mati sebagai kesatria agar bisa melewati “the rainbow bridge” (jembatan pelangi) untuk berkumpul dengan leluhur mereka.

Suku Moronene juga mewarisi banyak kisah-kisah kepahlawanan baik dalam bentuk syair-syair kepahlawana (epos) dalam “kada” (sastra lisan) maupun dalam cerita rakyat yang dituturkan secara turun temurun. Baju atau perlengkapan perang seorang kesatria

 

 

Moronene yang diabadikan oleh Dr. Johannes Elbert dalam bukunya “Die Sunda-Exedition” seabad lalu, kini menjadi salah satu bukti jejak heroik dalam tradisi dan budaya Moronene

Dilihat dari bentuknya, perlengkapan perang tersebut sangat konvensional terdiri dari “pinabele” (helem yang terbuat dari anyaman rotan dilapisi bulu binatang), “niweehi” atau “sisinca” (baju perang terbuat dari kulit kayu diperkuat dengan anyaman rotan), “kinalawa” atau “pererei” (perisai dari batang kayu yang kokoh setinggi bahu), “padanga” (tombak bermata pedang dengan dua sisi tajam dan berurat untuk pertarungan jarak dekat), “pando” (tombak bermata bulat lancip berurat, biasanya untuk dilontarkan ke arah musuh dari jarak jauh) dan “taa” (parang besar khas/pusaka Moronene, sekitar 70-100 cm).

Jenis senjata lainnya akan diuraikan dalam tulisan berikutnya.

Di samping foto yang diabadikan oleh Elbert, kisah dalam “kada” juga menjelaskan keistimewaan perlengkapan perang sebagai berikut:

Parewa inapili (pakaian yang terpilih)

Sangkanilanto babo (perlengkapan yg berlapis dan kuat)

Pontindaino hine (pelindung panas terik)

Ponta’ono oleo (pelindung cahaya mentari)

Baca Juga  Mengenal  Empat Warna Dominan Suku Moronene

Nilantobaworeda (perlengkapan berlapis kuat kokoh)

Inapili suasa (dilapisi pula suasa)

Pontindainopada (pakaian persiapan di padang)

Po’angkuno pengkena (dipakai menyanggupi siapapun yang sesama). (Kasra jaru Munara /ADV)

 

Tulis Komentar