KilasSultra.com-BOMBANA- Sebagai salah satu komunitas yg terbesar di Bombana, suku Bugis-Makassar tentu memiliki sejarah yg cukup panjang dalam berinteraksi dengan masyarakat Moronene.
Bahkan budaya Bugis telah ikut memberi nuansa tersendiri dalam proses akulturasi budaya lokal bukan saja di Bombana tetapi juga di Sulawesi Tenggara. Proses akulturasi budaya Moronene-Bugis-Makassar terjadi dengan mudah karena prinsip-prinsip hidup yg dianut oleh masyarakat adat Moronene (mekalolaro = saling mengasihi, meliuha = saling menolong, metokia = bersahabat) sejalan dengan prinsip-prinsip hidup Bugis-Makassar (sipakatau = saling menghargai, sipatuo = saling menghidupi, sipatokkong = saling mendukung).
Interaksi pada tatanan formal, hubungan kerja sama antara Kerajaan Moronene dengan kerajaan lain lebih banyak dipengaruhi oleh situasi politik. Seperti diketahui tiga kerajaan besar di Sulawesi yg saling berebut pengaruh atau bersaing dalam perluasan wilayah adalah Kerajaan Gowa, Kedatuan Luwu dan Kerajaan Bone.
Strategi politik bisa dilakukan melalui pendekatan perundingan, melalui peperangan (bila terpaksa) atau melalui proses perkawinan.
Hubungan formal pertama antara Kerajaan Moronene dan Kerajaan Bone terjadi sekitar abad ke15 dimana Kerajaan Moronene (Rumbia-Poleang-Kabaena) membentuk semacam federasi dengan Kerajaan Bone (dalam Bahasa Bugis disebut “naddoangi”).
Kemungkinan besar peristiwa ini terjadi setelah hubungan Kerajaan Moronene dan Kerajaan Buton memburuk paska kematian Sangia Lerentapupu (adik Sangia Tantuu, Raja Moroene Keuwia).
Jadi federasi Kerajaan Moronene dengan Kerajaan Bone terjadi pada kurun waktu Mokole Rangkaea sebagai Raja di Kotua, Sangia Tantuu sebagai Raja di Keuwia, dan Mokole Moro sebagai Raja di Polea.
Lalu, hubungan antara Kerajaan Moronene dan Kerajaan Buton membaik dan dibuat perjanjian kerjasama pada tahun 1513 atas initiatif Raja Mulae (Raja Buton ke-5)
Perjanjian ini dimediasi oleh Mokole Manjawari yg yg merupakan menantu Raja Mulae. Namun sekitar tahun 1600an, Kerajaan Moronene (Rumbia-Poleang) melakukan federasi dengan Kerajaan Konawe pada zaman pemerintahan Sangia Pinauti
Mokole Manjawari adalah putra kedua dari Raja Moronene Kabaena (Mokole Maligani yg bergelar La Pati) dengan permaisurinya yg bernama Wabelengalu. Mokole Maligani memerintah sekitar abad ke-15.
Mokole Manjawari kemudian menikah dengan anak Raja Mulae yg bernama Wakaramaani. Dia ikut membantu Raja Mulae bersama dengan Lakilaponto (anak Raja Muna) dan Betoambari (Bontona Peropa) menumpas para bajak laut asal Tobelo pimpinan La Bolontio. Mokole Manjawari kemudian diangkat sebagai Sapati Pertama pada saat Lakilaponto dinobatkan sebagai Sultan Pertama Buton (Sultan Murhum).
Mokole Manjawari kemudian lebih dikenal dengan nama Sapati Manjawari dan pernah diangkat juga sebagai Opu Selayar. Mokole Manjawari juga pernah memerintah sebagai Raja Moronene Kabaena ke-7 antara tahun 1500-1538 M.
Mokole Maligana memiliki istri kedua, putri Karaeng Basse, bangsawan Gowa dan memiliki seorang anak bernama Patawari. Oleh karenanya Mokole Maligana mendapat julukan Daeng Masarro Labbi. Menurut catatan sejarah, Selayar pernah di bawah kekuasaan Kesultanan Ternate dan Sultan Ternate pernah menyerahkan Pulau Selayar ke Kerajaan Gowa melalui sebuah perjanjian.
Di sinilah mungkin mengapa Sapati Manjawari pernah diangkat sebagai Opu Selayar (bahkan diceritakan berasal dari Selayar) serta mengapa Selayar pernah menjadi bagian wilayah Buton (namun masih perlu pendalaman lenih lanjut).
Kehadiran VOC (Belanda) tahun di nusantara tahun 1596 merubah peta politik di kawasan kerajaan-kerajaan di nusantara. Apalagi VOC menjalankan politik “devide et impera” untuk menguasai perdagangan rempah-rempah.
Mereka banyak melakukan intervensi dalam urusan diplomatik dan politik antar kerajaan-kerajaan di seluruh nusantara. VOC bahkan memaksa membuat kerjasama seperti dengan Kesultanan Ternate, Kesultanan Buton, Kesultanan Gowa, Kedatuan Luwu dan Kerajaan Bone. VOC membuat perjanjian pertama dengan Kesultanan Buton tahun (“Perjanjian Schet dan Elangi”) tahun 1613.