Banner Iklan

Menelusuri Gelar Raja Moronene

 

KilasSultra.com -Bagi suku Moronene, raja adalah seorang pemimpin negeri yang secara hirarki memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam tatanan adat, sosial dan spiritual.

Untuk itu seorang raja disapa dengan gelar penghormatan yang disebut “Ombu” atau “Apua” sebagaimana sebuah ungkapan dalam kada (sastra lisan Moronene) yang berbunyi “Lincudu kita Ombu, Somba kita Apua” (Salam hormat kami kepada tuan). Makna kata “lincudu” dan “somba” adalah bentuk hormat dengan sikap menunduk.

Gelar “Apua” bersumber dari kata “Apu” (Tuhan) yang melambangkan perwujudan kekuatan dan kekuasaan ilahiah (divine power) di bumi. Kata “Ombu” memiliki makna yang sama dengan “Apua” yang bersumber dari perbendaharaan bahasa Austronesia yang bermakna tuan, pemilik, orang yang sangat dituakan, dihormati.

“Apua” dianggap mendapatkan mandat dari “Apu” untuk menjaga tatanan kosmis di bumi sementara “Apu” berkuasa penuh terhadap tatanan kosmis dan kosmos di jagad raya.

 

 

Mengikuti tradisi yang ada, seorang raja juga diberi gelar Mokole. Kata “Mokole” menurut salah satu sumber berasal dari kata “mokole-le” yang memiliki arti turun temurun (heredity). Dalam pengertian ini adalah pemimpin yang diangkat secara turun temurun berdasarkan garis keturunan (kebangsawanan).

Namun pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, anak keturunan Mokole atau golongan bangsawan (Anakia) yang diangkat menjadi Kepala Distrik atau kepala kampung mulai juga diberi gelar Mokole oleh Belanda.

Perlakuan oleh Belanda ini merubah tradisi yang ada dimana gelar Mokole dikonototasikan menjadi sebuah gelar kebangsawanan seseorang seperti gelar Raden di Jawa, Andi di Bone, Karaeng di Makassar, Tengku di Aceh atau Tubagus di Banten.

Dalam perkembangannya, status kebangsawanan seorang Mokole juga dibedakan berdasarkan garis keturunannya. Semakin murni garis keturunannya (darah kebangsawanan) maka semakin tinggi kedudukannya dalam hirarki kebangsawanan sehingga menjadi prioritas utama sebagai kandidat pengganti Raja (Apua).

Baca Juga  Mengenal  Empat Warna Dominan Suku Moronene

Budayawan Kasra Jaru Munara merinci, 3 jenis darah Mokole, yaitu:

  • Mokole: Ayah dari garis Mokole dan Ibu dari garis Mokole
  • Mokole Limbo: Ayah dari garis Mokole dan Ibu dari garis Limbo (non bangsawan)
  • Mokole Mpaodu: Ayah dari garis Limbo (non bangsawan), Ibu dari garis Mokole. Status

Mokole harus ditebus sesuai ketentuan adat atau diraih dengan misalnya berjasa dalam perang

 

 

Jika dikaji lebih dalam, kata “Mokole” sebenarnya terbentuk dari dua kata yaitu “moko dan leleno”. Kata “moko” bermakna sesuatu yang baik, yang merupakan kata sifat aktif seperti dalam kata “mokolaro” (berhati baik). Kemudian kata “leleno” berasal dari kata dasar “lele” yang bermakna kabar berita (sesuatu yang akan datang) dan kata “no” adalah subyek pelaku.

Jadi kata “mokoleleno” bermakna seseorang membawa kabar dan memiliki perangai yang baik, sudah diketahui oleh banyak orang.

Sesungguhnya kedua pemahaman di atas saling berkaitan. Pada dasaranya “Mokole” adalah seorang yang memiliki perilaku (karakter) mulia dan dapat dipercaya sehingga dia layak diangkat menjadi pemimpin. Dan apabila kita menghubungkan pemahaman ini dengan sebuah ungkapan yang sering diucapkan oleh para tetua adat “osie paisa bintanio atawa kolumpee mana i soro-soro” (jangan pernah meninggalkan atau melupakan “mana” yang dulu dulu) maka kedua pemahaman tadi saling menguatkan.

Kata “Mana” adalah sebuah kata yang syarat makna. Kata “mana” ini bersumber dari bahasa proto-Austronesia yang juga masih terbawa ke dalam bahasa suku-suku lain yang ada di nusantara termasuk di Filipina serta negara-negara di Polynesia dan Oceanic.

 

 

Hampir semuanya merujuk kepada makna yang sama yaitu wasiat, pusaka/warisan (heritage) baik secara lahiriah maupun spiritual. Makna lainnya adalah karisma (charisma), martabat (dignity), kehormatan (respect) dan kekuasaan (power & authority).

Baca Juga  Kadis Pariwisata Bombana Sukses Kenalkan Budaya Bombana di ajang Nasional dan Internasional

“Mana” yang dimiliki oleh seorang raja dipercaya akan selalu diwariskan kepada anak keturunannya. Anak pertama dipercaya mewarisi hampir semua “mana” sehingga selalu akan menjadi pewaris tahta yang diutamakan. Sementara anak yang terakhir hanya mewarisi sedikit “mana” sehingga menjadi pilihan terakhir sebagai pewaris tahta. (KJM/ADV)

 

Tulis Komentar