Memaknai Semiotika Kunker Gubernur Sultra
OPINI Andi Syahrir
Ketika Presiden Joko Widodo melantik menteri Kabinet Indonesia Maju, para pembantunya ini duduk lesehan di anak tangga istana dalam kondisi panas yang terik. Ada pesan yang ingin disampaikan Presiden. Kerendahan hati. Merakyat. Tapi tetap harus bekerja keras dalam kondisi bagaimana pun.
Beberapa hari lalu, Bupati Buton Tengah (Buteng) Samahuddin, melantik 16 kepala desa di sebuah pantai. Bukan sembarang pantai. Tapi kawasan wisata Pantai Tanjung Buaya yang sedang getol-getolnya dipromosikan sebagai destinasi wisata. Pelantikan ini dikemas menjadi semacam promosi pariwisata.
Setiap politisi adalah implementator semiotik. Yang piawai. Bahkan Jokowi dikenal sebagai politisi semiotik. Tidak pandai berbicara panjang. Tapi bahasa-bahasa nonverbalnya sangat ampuh memberi makna positif bagi publik.
Jokowi cukup mengenakan sarung ketika menjalankan tugas kenegaraan untuk menyampaikan maksudnya bahwa Presiden hendak menggeliatkan industri tekstil nasional.
Ketika menyampaikan rasa prihatinnya tentang bencana alam yang bertubi-tubi, Presiden “terlupa” menyebut banjir di Kalimantan Selatan. Netizen protes. Apa yang dilakukannya kemudian adalah menjadikan Kalimantan Selatan sebagai lokasi bencana yang dikunjunginya pertama kali.
***
Di penghujung Januari ini, Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Kota Baubau dan Kabupaten Buton. Kunker yang jika memperhitungkan hari Minggu –hari libur– dan perjalanan kembali, mencapai lima hari. Hampir sepekan. Waktu yang cukup panjang.
Seperti Presiden Joko Widodo, Gubernur Ali MAzi sedang melakukan komunikasi politik melalui pesan-pesan semiotik sebagaimana konsep semiotika Roland Barthes.
Pertama, Gubernur membawa serta para asisten, sebagian besar kepala OPD, direktur bank milik pemda, dan tim percepatan pembangunan. Maknanya adalah Gubernur siap melayani apapun yang diinginkan kabupaten/kota yang dikunjunginya. Gubernur menyiapkannya lengkap.
Para pembantu-pembantu utama Gubernur itu dapat menjadi tempat bertanya, tempat berkonsultasi, tempat berkoordinasi bagi pimpinan birokrasi setempat. Sehingga, jika ada pimpinan OPD di daerah yang tidak antusias menemui mitra kerjanya di tingkat provinsi, maka memang perlu mempertanyakan spirit kerja mereka.
Kedua, Gubernur mengawali kunjungan kerjanya di awal tahun 2021. Masuk tahun ketiga sekaligus paruh kedua pemerintahannya. Strategi pemerintahan Ali Mazi-Lukman Abunawas (AMAN) dalam lima tahun ke depan ialah Gerakan Pembangunan Terpadu Wilayah Daratan dan Lautan/Kepulauan. Disingkat Garbarata.
Ini adalah janji politik AMAN. Mewujudkan pembangunan yang terpadu, merata antara wilayah daratan dan kepulauan. Di paruh pertama, Gubernur menggenjot di daratan. Membangun perpustakaan, rumah sakit, kawasan wisata terpadu Toronipa. Sejauh ini, semuanya on the track.
Kunkernya ke Kota Baubau dan Buton menjadi semacam “peletakan batu pertama” milestone pembangunan di kepulauan untuk mewujudkan filosofi dari Garbarata tadi. Ada peluang besar yang terpendam di Pulau Buton yang dari tahun ke tahun kita hanya mampu menyebutnya sebagai “potensi”. Belum terealisasi. Aspal Buton.
Inilah yang melatarbelakangi semiotika yang ketiga. Totalitas. Hendak wewujudkan pemanfaatan aspal Buton sebagai penyanggah kebutuhan aspal nasional. Sebetulnya, Gubernur dapat saja tidak hadir dalam kunjungan kerja tim kementerian koordinator kemaritiman dan investasi ke lokasi tambang aspal di Kabupaten Buton.
Toh, selama ini koordinasi demi koordinasi telah dilakukan Gubernur secara intens dengan berbagai elemen. Pun di tengah pandemi Covid-19 ini, Gubernur mengambil resiko bepergian dan menemui/ditemui banyak orang.
Bahwa aspal Buton yang sejak zaman Belanda hanya disebut sebagai potensi, sebentar lagi benar-benar terwujud sebagai salah satu lokus perekonomian nasional.
Diawali dengan pilot project pemanfaatan aspal Buton pada pembangunan jalan 1.000 kilometer secara nasional –yang oleh Gubernur masih diperjuangkan agar 1.000 kilometer dimaksud adalah jalan di wilayah Sultra. Totalitas inilah yang ditunjukkan Gubernur.
Kalau berani jangan setengah-setengah, kalau setengah-setengah jangan berani-berani. Begitu kira-kira pepatahnya. Ada spirit juang di dalamnya.
Spirit yang sekali lagi hendak ditunjukkan Gubernur dengan menyengajakan diri mengunjungi lokasi pembangunan Tugu Pahlawan Nasional Sultan Himayatuddin (Oputa Yii Koo). Bahwa tugu yang dibangun besar-besar itu adalah pengingat agar spirit kepahlawanan tetap terpatri di jiwa-jiwa masyarakat Sultra.***