KilasSultra.com-BOMBANA-Bombana dikenal sebagai wilayah yang dihuni oleh Suku Moronene sebagai penduduk asli, Etnis Moronene sebagi salah satu etnis terbesar di Sulawesi Tenggara, dimana daerah ini dimitoskan sebagai Negeri Dewi Padi (Dewi Sri).
Konon, sang dewi pernah turun di sebuah tempat yang belakangan disebut Tau Bonto (saat ini lebih dikenal dengan penulisan Taubonto, ibu kota Kecamatan Rarowatu)
Dalam Bahasa Moronene, ‘tau bonto’ berarti tahun pembusukan, karena ketika Dewi Padi itu turun di tempat tersebut,
produksi padi ladang melimpah ruah sehingga penduduk kewalahan memanennya. Akibatnya, banyak padi tertinggal dan membusuk di ladang.
Padahal, luasan ladang yang dibuka tak seberapa, hanya beberapa hektare saja untuk setiap keluarga.
Taubonto menjadi pusat pemerintahan pada zaman kekuasaan mokole, gelar raja di wilayah Moronene pada masa lalu. Pada masa pemerintahan swapraja Buton
Pasca kemerdekaan, wilayah kekuasaan mokole berubah menjadi wilayah distrik dan selanjutnya sekarang menjadi kecamatan.
Secara sejarah, wilayah Moronene berada di daratan besar jazirah Sulawesi Tenggara mencakup sebagian Kecamatan Watubangga di Kabupaten Kolaka sekarang.
Namun, yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Buton (waktu itu) hanya Kecamatan Poleang dan Kecamatan Rumbia. Saat itu telah berkembang menjadi empat kecamatan. Dua kecamatan tambahan sebagai hasil pemekaran adalah Poleang Timur dan Rarowatu. Kecamatan Rarowatu berpusat di Taubonto.
Budayawan Kasra Jaru Munara menuliskan dalam sebuah cerita rakyat, pada suatu masa dewi padi pernah turun di tanah Moronene (sekarang Bombana). Saat itu padi yg ditanam tetiba rimbun sekali dan berbuah banyak.
Hasil panenpun melimpah ruah hingga kampiri (lumbung) tak sanggup menampung semuanya bahkan masih banyak padi yg membusuk di ladang karena tidak sempat lagi dipanen.
Peristiwa panen yg melimpah ruah ini diabadikan dalam nama kampung Taubonto yg punya arti tahun pembusukan. Oleh karena legenda ini Bombana dijuluki negeri dewi padi.
Padi (oryza sativa) merupakan salah satu tanaman pangan penting untuk separuh penduduk bumi. Begitu pula bagi suku Moronene, padi merupakan sumber kalori utama dan mendapatkan perhatian “istimewa” dibanding tanaman yg lain seperti jagung, sagu dan umbi-umbian. Padi diperlakukan sebagai sesuatu yang suci dan sakral karena dianggap memiliki jiwa kehidupan (spirit) yg disebut “sangkoleo”.
Untuk itu suku Moronene memiliki sejumlah ritual yg berkaitan dengan padi mulai dari persiapan lahan hingga panen sebagai upaya memuliakan “Sangkoleo Mpae”. Pae adalah padi dalam bahasa Moronene.
Dalam perjalanannya, karena interaksi budaya dan pengaruh agama Hindu, Sangkoleo Mpae dikonotasikan sebagai Dewi Padi seperti dalam mitos Dewi Sri di Jawa atau mitos Sangiang Serri dalam epos I Lagaligo.
Padahal ada beberapa mitos ttg pensakralan padi atau menganggap padi sebagai simbol tanaman yang mulia di Nusantara seperi Ina Pare di NTT yg ceritanya terlepas dari pengaruh Hindu. Kita akan bahas selanjutnya.
Daratan Asia ditumbuhi oleh lebih dari 1.400 varietas tanaman padi dengan dua subspesies utama yaitu: varietas japonica dan indica. Berdasarkan jejak arkeologi, padi japonica mulai dibudidayakan di lembah Yangtze, China bagian selatan, sekitar 9.000 tahun lalu.
Sementara padi indica mulai dibudidayakan di lembah Sungai Gangga, India sekitar 5.000 tahun lalu. Di Indonesia sendiri ada jenis javanica yg merupakan varian dari japonica hasil adaptasi di kawasan tropis. Bagaimana padi bisa masuk ke Nusantara dan sampai di Wonua i Bombana Wita i Moronene(KJM/ADV)