Banner Iklan

KUNJUNGAN JOKOWI Ke TANAH BUTON. ARUS BALIK AKAN MEMBALIK, SEJARAH AKAN PULANG MENGULANG

Catatan La Yusrie (Budayawan Buton)

La Yusrie (Budayawan Buton

 

 

#Selamat Datang Bapak Presiden Joko Widodo di tanah Buton.

 

INILAH tanah Buton, tanah berberkah, tuahnya berkat–barakati benar-benar, tempat banyak bendera bangsa-bangsa akan kelak berkibar ditancapkan di sini, begituh leluhur kami memberi pesan.

Mungkin Bapak Presiden baru sedikit tahu, maka izinkan saya memberitahu sedikit perihal Buton ini, suka dan lukanya, beginilah mulanya dibangun negeri Buton ini:

1332

Negeri Buton terbentuk, diinisiasi oleh empat orang kuat dari semenanjung Malaya dan tanah Jawa, seorang perempuan diangkat menjadi raja.

Konon ia adalah puteri Kubilai, Khan Mongol yang tersohor itu, wilayah kekuasaannya luas, membentang disepertiga luas bumi, dari tenggara dan timur Asia, Eropa, hingga timur tengah.

Empat orang itu kami menamainya Mia Patamiana, masing-masing dari mereka bernama Sipanjonga, Si Malui, Si Tamanajo, dan Si Jawangkati.

Merekalah “Founding Fathers” atau dalam bahasa adat lokal “Manga Ama” yang mula-mula mendirikan kerajaan Buton. Merekalah yang memulai membangun peradaban Buton, merekalah yang kemudian menjadi cikal bagi Walaka–Kelompok aristokrat yang memilih raja atau sultan Buton.

Mereka sejak mula berbesar jiwa, melepas kepentingan sendiri, dengan tidak memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi raja.

Mereka mempraktikan sebenar benarnya apa yang kemudian menjadi falsafah hidup orang Buton: “Bolimo Karo Somanamo Lipu”–tanggalkan kepentingan diri, utamakan negerimu!

Seorang perempuan, bukan pula dari kaum mereka kemudian dipilih menjadi raja, perempuan jelita yang bersih kulitnya digambarkan serupa saja putihnya daging kelapa.

Dialah Wa Kaa Kaa perempuan pilihan mereka itu, turun dari tandu bambu di bukit Lelemangura dengan berkain merah, mahkota bertatah intan mutiara menudung kepalanya, jumbai bermanik mengilau turun menjuntai hingga dagunya, menirai cantik wajahnya.

1333

Raden Sibatara, Raden Jutubun dan Lailan Manggraini bangsawan Jawa putra dan putri Raja Majapahit mendarat di Kapontori, membawa kebesaran kaumnya, segera Raden Sibatara dinikahkan dengan Wa Kaa Kaa.

Dari Luwu datang juga seorang berpengaruh. Anak Anakaji–Datu Luwu bernama Bau Jala datang ke Buton, menikah ia dengan Bulawambona-raja kedua di Buton, Bau Jala dikenal kemudian sebagai La Bhaa Luwu–Kepala, atau pimpinan nya orang Luwu.

Bataraguru lahir, bernama lain Banca Patola, ia mengganti ibunya Bulawambona menjadi raja Buton ke-3

Bataraguru mengambil Wailuncugi-seorang dari bangsa peri sebagai istri, lahir kemudian tiga orang anaknya: Raja Manguntu, Tua Marudju, dan Tua Rade. Seorang anak lagi lahir dari perempuan selirnya: Kiyjula namanya.

Kisruh kuasa yang paling mula terjadilah, melibatkam dua anaknya: Raja Manguntu dan Tua Marudju, masing-masing berhasrat mengganti ayahnya sebagai raja.

Tetapi Bataraguru adalah seorang yang bijak, tidak ia memilih dari salah seorang di antara keduanya yang berseteru itu, baginya tidak baik melihatkan ambisi, jabatan tak boleh direbutkan apalagi diributkan

Tua Rade anak paling bungsu Bataraguru–dianggapnya paling lemah justru kemudian ditunjuk naik menggantikannya.

Tampaknya itu adalah jalan keluar terbaik dari kisruh alot dua anaknya yang ribut berebut kuasa. Ia menunjuk anak bungsunya–seorang paling lemah, berharap dikawal dua kakaknya.

Raja Manguntu sebagai sulung keluar dari istana, mengelana ke Busoa Batauga di selatan Buton, Tua Marudju menyusul juga keluar menuju Todanga-sebuah negeri di utara Buton.

Kedua dua negeri itu kemudian dibawa mereka, masuk bergabung kerajaan Buton. Kisruh usai, Tua Marudju mendatangi Raja Manguntu di Busoa, berdamailah keduanya di sana, saling menangisi berpeluk pelukan. Tua Marudju mangkat di Busoa Batauga, makamnya dinamai Po Bhaa.

Sedang Raja Manguntu meneruskan pengelanaan, pindah ia ke negeri seberang, tinggal menetap sampai mangkatnya di sana, makamnya di kampung lama antara Wasilomata dengan Wambuloli dinamai juga Po Bhaa, tak jauh dari situs batu purba Wacu Bapala.

Kiyjula mengelana juga, ia ke Tiworo mengambil Wa Randea putri raja Tiworo sebagai istrinya, kelak lahir Wa Tubapala, ibunda La Kilaponto.

Kiyjula meninggalkan Tiworo, menyepi di selatan Wuna, di kampung Lakudo dan Ombonowulu, tinggal ia di sisian Wolio pada sebuah gunung keramat bernama Panggilia.

Gunung itu kini dinamai gunung Murhum dimana puncak bukitnya dinamai Bukit Kiyjula.

Dinamai gunung Murhum karena selalu dahulu La Kilaponto bermain main di sana, datang menjenguk kakeknya itu, bahkan tinggal beberapa lama di sana.

1460

Tua Rade–mungkin sebenarnya namanya Tuan Raden naik tahta, segera ia ke Tanah Jawa, menemui kerabat leluhurnya, penguasa tanah Jawa.

Tiba di tanah Jawa, segera ia menghadap penguasa tanah Jawa, bukan main girangnya keduanya, saling berkasih-kasihan.

Tua Rade kembali ke Buton, hadiah besertanya macam-macam jenisnya diberikan penguasa tanah Jawa. Karena itulah Tua Rade mashur di Buton sebagai Sangia Yi Sara Jawa.

Sesudah Tua Rade, Mulae naik menggantikan, begitu makmur rakyat dimasanya, segala-gala tercukupi belaka, dinamai ia Sangia Yi Gola-sebab kehidupan rakyat di masanya serupa saja manisnya gula, tiada cela pahitnya.

Baca Juga  Kunjungi Kampung Mola Wakatobi, Jokowi Bonceng Istrinya Pake Sepeda Motor

1541

Sesudah Mulae Sangia Yi Gola, datanglah La Kilaponto, bernama lain Murhum, ataubTimba Timbanga segera Islam lah tanah Buton ini. Syaikh Abdul Wahid, ulama kharismatik dari timur tengah membimbingnya masuk memeluk agama Muhammad itu.

Murhum menjadilah Khalifah kelima, dilantik Syaikh Abdul Wahid mewakili Kekhalifaan Utsmaniah Turki dalam gelar kesultanannya; Sultan Muhammad Yisa Qaimuddin Khalifatul Khamis.

1597

Laelangi, bergelar Dayanu Ikhsanuddin naik menjadi sultan, bermulalah hubungan dengan Belanda. Undang-Undang Kesultanan Buton dilahirkannya, mengatur segala-gala.

Kuasa mulai dikelola, diatur sebaiknya. Kamboru Mboru Talu Palena lahirlah, kelompok lalaki-aristokrat utama Wolio yang hanya dari garis trah merekalah sultan dipilih

1647

La Cila bersama La Sinuru Sangia Yi La Bhalawa, keduanya putera Laelangi memimpin penyerangan ke gunung Wawani Hitu Maluku, mengalahkan Kakiali.

Ia kemudian naik sebagai sultan Buton ke-8, tetapi sebuah intrik politik membawanya ke pemakzulan, ia dijatuhkan dan kemudian dihukum digogoli

Wa Ode Safura, puteri La Cila, mengikuti ritual Kamoomoose di Wakaokili sebagai “Pu Una Karia”, ia kemudian di bawa sebagai Susua-semacam gadis pilihan mengabdi ke istana sultan, La Umati-Sultan Buton ke-13, terpincut kepadanya, menjadilah kemudian ia “Bhelo Bawine”.

Dari Wa Ode Safura puteri La Cila itu, lahir tiga anak La Umati: Yarona Lakudo, Yarona Laompo, dan La Karambau-Oputa Yi Koo.

1750

La Karambau naik menjadi Sultan Buton ke-20, segera setelahnya ketegangan dengan Belanda bermulalah.

Rust en Werk, kapal dagang Belanda ditenggelamkan di muka Kabaena oleh gerombolan Frans Frans, Mazius Tetting-nahkoda kapal itu dan seluruh awaknya dibunuh dengan ditusuk pedang di kiri dada mereka setelah tiga hari tiga malam perundingan tak mencapai konklusi

Secara sepihak La Karambau berani memutus kontrak terdahulu Buton dengan Belanda yang dianggapnya sebagai “merugikan” Buton.

Belanda tak tinggal diam, dari Fort Rotterdam di Makassar, puluhan surat dilayangkan ke Buton sebagai peringatan disertai memo bertulis tebal agar diindahkan.

Cornelis Sinkelar, penguasa VOC di Makassar bahkan harus terus-terus mengumpat dengan “Koppig” karena begitu ia jengkelnya

Sebuah operasi militer dalam apa yang dinamai “Oorlog” dikirim ke Buton menumpas La Karambau.

La Karambau tak gentar, dihadapinya Johan Casper Reijwebber–pimpinan pasukan VOC pengecut itu tak punyai nyali bertarung terbuka. Ia harus menyaru sebagai matros kapal, keluar mengintip dan mengintai, mencari-cari waktu lengang yang lengah untuk memulai menyerang.

Meletuslah Kaheruna Walanda, di pagi buta itu, pasukan Reijwebber menyerang dari dua arah, dari dua Lawa–gerbang, gerbang Lanto dan Gerbang Labunta.

La Dongkulo, Syeh Abdul Ganiu-Kenipulu Bula, dalam Ajonga Inda Malusa–Pakaian yang Tiada Lunturnya, menulis dengan sepenuh heroik:

Begini ia menulis “Di Situlah La Karambau menunjukan kelelakiannya, ia mengamuk serupa Singa terluka, menyerang maju tiada mundurnya serupa galaknya Harimau beranak muda.

1906

Sultan Asyikin meneken kontrak sodoran Bruggman dengan tertekan. Mulanya ia menolak dengan telak, tetapi situasi sangat genting, sangat penting, harus segera diambil keputusan.

Bisikan datang dari para penasihat terdekatnya agar menerima saja dulu, di belakang nanti baru berurusan lagi, tertekenlah apa yang dinamai “Korte Verklaring”: Perjanjian Pendek Asyikin–Bruggman, dengan berat dan banyak masalahnya mengikut muncul kelak di belakangnya.

Pasal kedua dan ketiga dari perjanjian itu berisi yang menohok, Buton tersuruk jauh jatuh di kubangan, begini bunyi pasalnya itu

Pasal 2
Kesultanan Buton beserta semua pulau-pulaunya dan lembahnya telah masuk di dalam kekuasaan Governemen Belanda.

Pasal 3
Segala sesuatunya sudah diputuskan dan diserahkan oleh Sultan Muhammad Aidil Rakhiya bersama orang-orang besarnya, serta semua menteri-menterinya kepada Governemen Belanda, dan Belanda telah menerima penyerahan Kesultanan Buton kepada Governemen Belanda.

Sejak itu masuklah Buton dalam Pax Neerlandica, itulah yang sebenarnya masalahnya. Kedaulatan Buton telah tergadai, menjadi sepenuhnya bagian dalam otoritas wilayah kuasa Kerajaan Hindia Belanda.

Buton telah dijajah sejak itu, tidak hanya secara de facto tetapi bahkan telah juga de jure

Pax Neerlandica adalah politik kolonial Belanda yang berupaya menyatukan wilayah-wilayah jajahan Belanda di Nusantara melalui perjanjian dan atau pendekatan militer.

Masuknya Buton dalam Pax Neerlandica itu mengubah segala-gala. Sistem administrasi pemerintahan tradisional segera berganti menjadi sistem administrasi modern, mengubah sistem kepemimpinan pribumi yang konservatif ke sistem kolonial yang modern.

Pejabat di setiap distrik tak lagi mutlak diperuntukan bagi hanya kaum elite bangsawan, jelata sekalipun jika ia punya kepandaian dapat menjadi pejabat.

Ini memantik protes dan kemarahan kaum bangsawan, kelompok yang selama ini memonopoli semua jabatan.

1945

25 Mei 1945, tiga bulan sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, La Ode Manarfa, Kepala Distrik Gu, adalah juga anakda Sultan Buton Muhammad Falihi memimpin pengibaran bendera Merah Putih di Lombe.

Baca Juga  Presiden Jokowi Resmikan Jembatan Teluk Kendari

Merah Putih dikerek dengan heroik dalam sebuah upacara penuh khidmat. Mungkin di nusantara ini, di Buton lah kali pertama bendera Merah Putih dikibarkan, mendahului lain-lainnya, bahkan pun juga Jakarta.

Maruah Buton telah memulai kembali, arus membalik kembali ke sebaliknya, sejak itu!

1945

Indonesia merdeka, dengan wilayah kedaulatannya mencakup seluruh eks wilayah jajahan Hindia Belanda.

Tetapi banyak kerajaan-kerajaan di timur nusantara yang merasa tidak terjajah Belanda–Buton salah satunya enggan masuk dengan bangsa yang baru merdeka itu.

Van Mook melihat gelagat penolakan kerajaan-kerajaan di timur nusantara itu dan segera memanfaatkannya untuk kepentingan politik penguatan pengaruh Belanda.

Ia kemudian menggagas sebuah konferensi di Malino, pesertanya adalah bangsa-bangsa “merdeka” yang masih “keberatan” menerima NKRI

1950

MULANYA Buton dirujuk lalu dibujuk dengan imingan “Keistimewaan”, asal masuk NKRI, Soekarno mengumbar janji, Buton akan diberi perlakuan khusus.

Arus bergerak dari Buton di masa itu, sebelum berbalik arah ke sebaliknya.

Sejak itu, Buton tak sekadar hanya kehilangan tuannya, tuahnya juga sebagai negeri bertanah berkah sekaligus seperti lenyap tiada bersisa ,

1960

Sultan Falihi wafat, Kesultanan Buton runtuh, besertanya segala-gala juga mengikut rubuh. Buton nir–entitas, kehilangan identitas pemersatunya sejak itu. Berantakan segala-gala, di tengah feodalisme akut yang melanda elite aristokrasi

Bermulalah sejak itu masaker tragis yang naas itu, Buton mulanya distigma segala macam yang buruk-buruk sebelum diakhirnya “dilenyapkan” dengan senyap.

1965

Kup meletus di Jakarta, huru hara pecah, dua tahun setelahnya gelumbang getahnya mencapai Buton, menggulung sesiapa saja tiada ampun, dengan bengisnya.

 

1967

di Buton, anak-anak ideologis, pengikut setia Bung Karno ditangkapi, diterungku hanya berdasar desus dan tuduhan dangkal yang sepihak belaka: PKI, yang diakhirnya terbukti tiada memang kebenarannya.

1969

Isu PKI makin kuat diletupkan, diletuskan segala propaganda yang memecah, menyekat tajam, elite lokal yang sudah memang saling seteru itu menambah keras perkubuan, Buton tersuruk jatuh, terpuruk dan tiada ia bangkit lagi.

kapan lagi arus balik akan balik membalik, membawa Buton ke kejayaan sebagaimana telah dijanjikan leluhur dahulu bahwa akan kelak berkibar bendera-bendera dari banyak bangsa di tanah ini?

Di kitalah semua kini yang menentukannya. Di tangan kita, sejarah baru kita lahirkan.

***

BUNG KARNO datang ke Makassar seusai konferensi gagasan Van Mook di Malino dan Denpasar telah gagal mencapai ujung tujuannya.

Begitu sumringah Bung Karno, senyum terus mengembang karena bahagianya. Dalam majlis para Raja dan Sultan se-Sulawesi, di sana ia melepas omongan imingannya.

Ketika ia memasuki balairung tempat bermajlis, para Raja dan Sultan yang mulia itu, semua raja dan sultan berdiri menyambutnya, hanya Sultan Buton YM La Ode Muhammad Falihi yang tak bergeming, terus kukuh dalam duduknya sembari memeluk tongkat/katuko kebesarannya.

Soekarno mendatanginya, dan tampak kemudian begitu karib keduanya bercakap-cakap. Tak peduli lain lainnya dipunggunginya, Bung Karno begitu larut dalam percakapan itu, sangat dekat berhadap-hadapan sultan Buton.

Bung Karno bahkan kemudian secara diam-diam menyusul datang di Buton

Apa bahasan mereka sehingga tampak seserius begitu dengan diselingi tawa canda disela cakap keduanya? Telah menjadi itu misteri.

La Ode Manarfa, putera Sultan La Ode Muhammad Falihi–Sultan Buton yang bertemu Soekarno itu, berpuluh tahun kemudian membocorkan sebagian isi percakapan keduanya, oleh Bung Karno, Buton telah diberi sesuatu janji.

Orang Buton yang tak pandai memelas memulai upaya diplomasi memakai saluran resmi pemerintahan, melalui La Ode Mihi Kenipulu Kesultanan Buton mengirim surat “peringatan”, agar Bung Karno mengingat omongan imingannya, ia diminta tak melalaikan yang dijanjikannya.

Surat bertanggal 30 Januari 1951 itu ditujukan langsung ke Bung Karno melalui Direktur Kabinet Presiden, Mr. Hatmoko.

Atas perintah Presiden Soekarno, pada 6 Maret 1951, Direktur Kabinet Presiden, Mr. Hatmoko kemudian meneruskan surat itu ke Kementerian Dalam Negeri dengan disertai memo agar sedetailnya memberi jawaban balasan yang setepatnya dan secepatnya.

Surat balasan dari Kementerian Dalam Negeri itu kemudian dikirim, tetapi tak pernah sampai ke tujuannya di Buton, raib tak lagi ditahu kemana juntrungannya.

Dan janji Bung Karno lenyaplah, bahkan dari ingatan kolektif generasi Buton ia juga diraibkan.

Buton tersuruk sejak itu, ia dipurukkan dalam kubang dan tiada bangkitnya lagi. Tetapi arus balik akan memang membalik, sebagaimana dijanjikan lelujur, Buton akan kembali ke kejayaan itu seperti sedia kala.

***

Presiden Jokowi datang, seperti dahulu Jutubun dan Sibatara. Yang terjadi seperti sedang berulang, bukankah memang kejadian-kejadian adalah ulangan-ulangan?

Lihatlah itu lirik pandangnya dan senyum Pak Jokowi yang lepas, gesture dan sikapnya seperti ia merasa sedang di “rumah” nya sendiri.

Penulis : La Yusrie Budayawan Buton
Penulis : La Yusrie
(Budayawan Buton)

 

Tulis Komentar