Banner Iklan

Kisah hadirnya Sariwegading di Pulau Kabaena

 

KilasSultra.com-BOMBANA-Kabaena Gunungnya Tinggi, Ombak di Laut Sama Ratanya, Rasa enak orang yang pergi, orang yang tinggal apa rasanya….

Demikianlah sebait lagu yang diciptakan La Tuheru, seorang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia asal Maluku yang mengajar di Pulau Kabaena sekitar tahun 1930-an.

Syair lagu tersebut, tidak saja mengantar rasa rindu akan kampung halaman, melainkan lebih jauh ke lubuk jiwa, bahwa Kabaena memiliki kisah legenda yang dituturkan dari mulut ke mulut, yang kini sangat dirindukan pula. Legenda itu mulai sirna akibat pergeseran budaya dan arus global yang cukup deras.

Kini diperoleh sebuah rekaman yang menceritakan tentang sejarah Kabaena. Penuturnya kini sudah almarhum tetapi dimasa lampau dia adalah salah seorang tokoh.

Rekaman dalam bentuk MP3 setelah dikonversi oleh Sahrul (37), Direktur LSM Sagori, dari sebuah pita kaset, diperoleh dari Hardiyansah Bin Salahuddin Bin Radiman (35).

 

 

 

Oleh penutur pada rekaman itu memperkenalkan dirinya bahwa ia adalah Radiman, anak dari Haradi (Mbue Pu’ununu). Ia menerima sejarah Kabaena dari ayahnya dan Serewu pada tahun 1932. Saat menerima cerita itu, Mbue Pu’ununu berusia 90 tahun dan Serewu berusia 95 tahun.

Dikisahkan bahwa Pulau Kabaena awalnya terdapat tiga pembagian wilayah masing-masing adalah Batu Sangia, Sangia Wita dan Wumbu Rano.

Beberapa lama kemudian berkembang lagi pemukiman dengan lahirnya Wonua Tirongkotua dan Wumbu Ntoli-Toli. Dari tiga menjadi lima pemukiman, maka ditetapkanlah namanya yaitu Kotu’a.

Meski perkampungan telah menjadi 5 wilayah dengan nama pulau ditetapkan adalah Kotu’a, namun penting diketahui ialah siapa penghuni pertama di pulau mistik itu.

 

 

Dikisahkan bahwa orang pertama di Pulau Kotu’a adalah Sawerigading dari Kerajaan Luwuk. Sawerigading membawa dan menempatkan 9 orang anggotanya di kaki gunung Batu Sangia. Sembilan orang dimaksud dipimpin oleh seorang bernama Doo Nsiolangi dan istrinya Walu’ea (janda yang dituakan).

Baca Juga  Kecamatan Matausu Terendah Genjot Vaksin Pekan ke IX

Selang beberapa waktu, Sawerigadi melanjutkan petualangannya tanpa diketahui kemana tujuannya, begitu pula dengan Doo Nsiolangi tak diketahui kemana rimbanya. Hilangnya Doo Nsiolangi, maka Walu’ea-lah yang mengambil alih kepemimpinan.

Dalam kepemimpinannya itu, mereka mulailah bercocok tanam dan berburu sebagai mata pencaharian hidup. Hingga panen tiba, maka berkeinginanlah ia untuk menyelenggarakan pesta.

Untuk terlaksananya pesta, maka diperintahkanlah kepada anggotanya mencari aur untuk menanak nasi, yang belakangan disebut lemang (Tinula = bahasa moronene kabaena).

 

 

Aur tersebut diambil dari “Kura Nkapa”. Ketika hendak dipotong pada ruas pertama bagian bawah aur itu, tiba-tiba dari dalam terdengar suara yang mengatakan, “Osie Kolo’o cokeena, dahoo nta konaa karuku,” (jangan potong disitu, sebab akan mengenai kaki saya”.

Begitu pula ketika hendak dipotong pada ruas kedua dan selanjutnya, selalu terdengar suara yang mengatakan ‘Jangan potong pada bagian itu, sebab akan mengenai bagian tengah saya, demikian seterusnya.

Hingga akhirnya, orang yang hendak mengambil aur itu, mencabut dan memotong lebih panjang pada bagian atas kepala sesuai peringatan pemilik suara dari dalam aur tersebut.(ADV)

 

Tulis Komentar