KilasSultra.com-BOMBANA- Bagi sebahagian kecil masyarakat Pulau Kabaena khususnya warga Desa Tirongkotua dan Rahadopi Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana sangat mengenal 2 buah batu yang nampak unik.
Seperti yang terlihat, satunya terlihat utuh dengan panjang sekira 3 meter dan tinggi sekira dua meter dengan ketebalan sekira 20-30 centimeter.
Sementara batu lainnya tampak telah patah. Konon batu itu serupa, Sayang situs sejarah itu ketika perintisan salah satu badan jalan usaha tani, pada bahagian tengah patah seperti yang terlihat.
Watu Ninente (batu gong) demikianlah biasa warga lokal menyebutnya. Alkisah, kedua batu tersebut digunakan sebagai penanda bagi tamu yang hendak berkunjung di Gunung Batu Sangia Kabaena.
Bunyinya melengking terdengar seperti gong bila dipukul. Pantulan bunyinya dapat terdengar hingga dikejauhan sekira 2-5 kilometer.
“Seperti itulah jarak antara lokasi batu itu dengan Batu Sangia,” tutur Jumrad Raunde pemerhati Budaya
Beberapa orang berspekulasi, mungkinkah itu adalah tinggalan Megalitikum mengingat ukuran dan bentuk kedua batunya yang sama.
Apapun memaknainya, namun kata Jumrad Raunde batu itu sebagai penanda bagi tamu yang berkunjung di Batu Sangia.
Ilfan Nurdin, anggota dewan syara Lembaga Adat Tokotua bertutur, Batu Sangia dulunya adalah tempat bermukimnya penduduk asli Pulau Tokotu’a atau yang sekarang ini disebut Pulau Kabaena.
Penduduk Desa Tirongkotu’a dan Rahadopi, sebagai desa terdekat dari Batu Sangia dipercaya berasal dari Pulau Ternate. “Saat Raja Sawerigading dari Luwuk datang menduduki Kabaena, sekitar tahun 1400-an, penduduk asli Kabaena kemudian memilih menyingkir dan menyatu dengan alam,” kisah Ilfan.
Mereka kemudian menempati 7 daerah di Kabaena yang disebut sebagai Sangia. Pria yang juga keturunan raja I Tokotu’a ini menyebutkan, tujuh sangia itu adalah Sangia Wita di Gunung Sabampolulu, Sangia Sikeli di Sikeli, Sangia Tabaro di Langkema, Sangia Wumbu Onemoito di Tanjung Mongiwa, Sangia Reteno di Balo, Sangia Lembono di Muara, dan Sangia Batu Sangia.
Menurut hikayatnya, tujuh sangia ini bersaudara dan Sangia Batu Sangia itulah satu-satunya perempuan. Daerah di sekitar Batu Sangia itu disebut Kovonuano sedangkan penduduknya disebut Wakaokili.
“Orang Kabaena percaya, bahwa tujuh Sangia itu sampai sekarang masih hidup dan ada, tiap tahun, saat Lebaran mereka berkumpul di Batu Sangia, karena itu adalah saudara perempuan mereka. Sangia itu dianggap sebagai manusia sakti, seperti cerita Nyi Roro Kidul di Jawa, yang keberadaanya sampai sekarang masih dipercaya, dan dianggap ada,” tutur Ilfan.
Untuk sampai ke Batu Sangia, kata Ilfan, ada dua cara yakni lewat jalur yang sekarang ini sudah dibuka oleh para pendaki dan penduduk serta yang kedua lewat sebuah gerbang. Sayangnya, gerbang ini hanya diperlihatkan oleh penjaga Batu Sangia kepada orang-orang terpilih.
“Ada seperti seorang wanita di Tirongkotua bernama Wa Minii, itu sangat gampang kalau mau ke Batu Sangia. Ia seperti dituntun masuk lewat gerbang. Sayangnya, beliau sekarang sudah meninggal,” cerita Ilfan.
Di puncak Batu Sangia, ada lembah yang di dalamnya punya mata air yang tak kunjung kering. Uniknya, didalam sumber air itu, segala jenis ikan laut ada. Konon, di lereng Batu Sangia inilah Saweri Gading menemukan manusia yang berasal dari Bambu saat sedang berburu.
Manusia itu dikemudian hari bernama Tebota Tulanggadi atau versi lain menyebutnya Daeng Sollangi, yang jadi Mokole atau raja di Kabaena.
Pemandangan gunung Batu Sangia bila dilihat dari kejauhan
Terlepas dari soal benar atau tidaknya hikayat itu, ada satu hal yang amat dipercaya masyarakat Kabaena tentang Batu Sangia. Seringkali, situasi alam yang terlihat di kawasan itu dikaitkan dengan apa yang akan terjadi.
Seorang pelaut misalnya, cukup dengan melihat kabut yang melingkupi Batu Sangia, sudah bisa memutuskan untuk berlayar atau tidak.
“Biar gerimis, angin atau hujan di laut, kalau Batu Sangia cerah, itu berarti di laut lepas juga cerah. Tapi kalau di pantai tenang tapi Batu Sangia berkabut dan hitam, jangan coba-coba berlayar. Keras ombak dan ada badai,” tambah Ilfan lagi. (ADV)