Banner Iklan

Kendalikanlah Marah Karena Kita Orang yang Berpendidikan

Oleh: Rizky Kurnia Rahman, S.I.P

 

Setiap manusia pastilah mempunyai sifat marah. Dari bayi, anak-anak, remaja, hingga dewasa dan orang tua atau sepuh, sifat marah ini selalu ada. Perbedaannya di antara orang adalah tentang kadar, penyebab, cara melampiaskan, termasuk cara mengendalikannya. Ada yang karena masalah sepele sudah marah, ada yang baru muncul marah kalau penyebabnya sudah luar biasa.

Sebenarnya, sifat marah itu lebih sering berujung keburukan. Marah yang diluapkan menimbulkan efek yang tidak baik dan justru memunculkan masalah berikutnya. Misalnya, ada orang tua yang marah kepada anaknya. Padahal, kesalahan si anak termasuk wajar dan namanya juga keaktifan anak-anak. Namun, orang tuanya langsung marah besar, sampai melakukan tindakan kekerasan terhadap anaknya sendiri. Kasus semacam itu sudah banyak sekali terjadi.

Sang anak yang diperlakukan seperti itu, bisa jadi akan mempunyai sifat dendam kepada ayah atau ibunya. Apalagi dia merasa muda, kuat, dan mampu membalas. Fenomena anak membunuh orang tuanya dapat diakibatkan oleh marah. Si pelaku tidak memikirkan akibatnya, pokoknya asal marahnya terpuaskan dan terlampiaskan.

Selain berakibat kepada orang lain, marah juga berujung kepada kerusakan benda-benda. Kalau yang ini, kita sudah sering mengetahuinya. Ada yang marah dengan membanting piring, gelas kaca, pintu, bahkan anaknya sendiri! Subhanallah, saya pernah menyaksikan ada video diblur seorang ayah yang membanting anaknya gara-gara marah dengan istrinya. Ini sangat mengerikan. Anaknya tersebut dibanting di depan teman-temannya. Pasti mereka trauma. Dan pertanyaannya, anak itu salah apa hingga dibunuh dengan cara keji seperti itu?

Dari segi kesehatan, marah juga tidak bagus. Risiko suka marah-marah adalah meningkatkan risiko penyakit jantung, risiko stroke, menurunkan daya tahan tubuh, memperburuk gangguan kecemasan, merusak paru-paru, dan akibat negatif lainnya. Kalau kita memang ingin kena serangan jantung, maka silakan dirutinkan marah-marahnya.

Sedangkan dari segi agama, dalam hal ini Islam, marah itu lebih mengerikan lagi. Bisa karena marah, seorang suami menceraikan istrinya. Ketika marahnya reda dan disesali, tetap cerainya jatuh. Tetap dihitung sah selama marahnya masih dalam keadaan sadar.

Saya pernah mendengar ada seorang ibu bertanya kepada seorang ustaz. Bagaimana dengan suami yang kalau marah selalu mengucapkan cerai? Jawaban ustaz tersebut, cerainya tetap sah. Padahal suaminya marah berkali-kali. Nah ‘kan.

Dalam Dunia Pekerjaan
Konsep keseimbangan dunia dan akhirat itu memang susah dan tidak bisa terjadi. Contohnya: orang yang bekerja selama delapan jam setiap hari. Apakah selama delapan jam juga dia bisa salat, mengaji, belajar ilmu syar’i, bersedekah, dan ibadah lainnya? Rasanya kok tidak mungkin ya? Ibadah paling rajin mungkin hanya sekitar sejam dalam satu hari. Salat hanya lima menit, dikalikan lima, maka 25 menit. Ditambah salat sunnah, memang sekitar satu jam atau lebih sedikit.

Lalu, yang benar konsepnya bagaimana? Tetap kita berusaha berorientasi akhirat, tetapi jangan melupakan bagian kita di dunia. Artinya selama kita di dunia, tetap wajib bekerja mencari nafkah, menghidupi diri sendiri, pasangan, dan keluarga. Melalui bekerja, kita mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita. Meskipun tidak bisa memenuhi semuanya, paling tidak sudah bisa mencukupi.

Nah, kata siapa bekerja itu selalu enak? Justru yang ada adalah tekanan. Bisa dari atasan, bawahan, rekan kerja, atau dari diri sendiri. Apalagi pekerjaan itu sudah menjadi rutinitas kita. Dari hari Senin sampai Jum’at bekerja terus. Bahkan Sabtu dan Ahad pun masuk kalau memang perlu. Ditambah dengan malam hari hingga larut. Semua itu demi mencari sesuap nasi. Lho, kok cuma sesuap sih? Mana kenyang?

Tekanan dalam pekerjaan itu bisa berwujud deadline. Ini dia yang tidak hanya menjadi tekanan, tetapi juga beban. Deadline memang membuat disiplin kerja, tetapi dapat pula memunculkan stres yang luar biasa. Terlebih bila orang tersebut tidak mampu mengontrol diri.

Itulah rasa marah yang muncul akibat deadline. Tidak hanya satu pekerjaan, tetapi beberapa. Semuanya butuh deadline cepat. Semuanya seperti kejar tayang. Sedangkan kemampuan terbatas. Tenaga dan waktu ‘kan tidak hanya digunakan untuk bekerja. Jika tidak bisa memenuhi deadline itu, maka siap-siap mendapatkan marah dari atasan.

Kalau atasan sudah marah, sasarannya siapa? Tentu saja bawahan. Itu adalah pihak yang dianggap lemah dan memang ditempatkan di situ seakan-akan menjadi tempat sampah, tempat mencurahkan amarah yang meluap-luap. Apalagi dilihat bawahannya berkarakter lembut, terlihat tidak bisa marah, penurut, dan takut kehilangan pekerjaan. Pokoknya, bawahan yang seperti dapat menjadi sasaran empuk kemarahan atasannya.

Bentuk Kemarahan
Salah satu bentuk kemarahan atasan kepada bawahan adalah menggebrak meja. Ketika bawahan sedang bekerja, atasan datang misalnya, bertanya tentang pekerjaan. Ketika dijawab, dianggap tidak memuaskan atasan itu, maka tiba-tiba dia marah. Lalu, sasarannya adalah meja. Benda yang jelas tidak ada salah apa-apa, tetapi jadi korban pula. Atau bisa pula membanting kursi. Ini juga salahnya apa ya?

Efek marah dengan menggebrak meja semacam itu tidaklah menimbulkan risiko yang berat. Mungkin tangannya yang sakit, atau si bawahan kaget tiba-tiba mejanya dipukul. Namun, bayangkan jika atasan tersebut bukan memukul meja, melainkan orang di belakang meja alias si bawahan. Wah, ini sudah menjadi konsekuensi hukum! Bukan lagi hal yang main-main.

Ketika dalam marah semacam itu, sang atasan perlu berpikir dengan lebih jauh. Selama ini yang membantunya itu siapa? Jelas bawahannya bukan? Apakah atasan tersebut mampu bekerja sendiri? Atau pertanyaan yang lebih tajam lagi, apakah dia memang mampu bekerja? Jangan-jangan hanya bermodalkan suruh sana suruh sini. Tinggal perintah dan tunggu hasilnya. Kok enak sekali ya?

Merenungi Lagi
Pada dasarnya, atasan memang untuk dihormati. Posisinya memang mengharuskan untuk ditaati atau dilaksanakan perintahnya. Ketika atasan memberi perintah, maka bawahan harus selalu sigap. Mungkin dia mengetik lewat aplikasi Whatsapp, “Siap, Pak”. Atau dengan kata lain, “Siap pimpinan!” Atau kalimat-kalimat lain semacam itu. Yang jelas itu sebagai bukti bahwa bawahan selalu siap dan sigap menjalankan tugas.

Akan tetapi, kemarahan dari atasan atau pimpinan tidak perlu untuk dimunculkan, apalagi bukan karena sebab yang besar. Ketika bawahan mendapatkan tugas atau pekerjaan yang banyak, semuanya dikejar waktu, maka atasan harus mengerti. Apalagi atasan tersebut juga menghendaki urusannya beres dengan cepat. Jika ingin lebih cepat, mengapa tidak dikerjakan sendiri? Ya ‘kan?

Kemarahan dalam dunia kerja akan menimbulkan efek buruk. Hubungan antara atasan dan bawahan jadi memburuk. Untuk koordinasi dan komunikasi dalam kerja berikutnya jadi terganggu. Pada akhirnya, hal itu berpengaruh terhadap kinerja tempat kerja itu secara keseluruhan. Kalau di satu bagian terganggu, maka bagian lain terhambat juga.

Perlu disadari seorang atasan bahwa mereka mestinya menjadi contoh, menjadi teladan, menjadi panutan. Jika kerjanya hanya marah-marah, apa yang bisa dicontoh dari situ selain akhlak yang buruk? Selain itu, kemampuan mengendalikan marah ini menyangkut pola pikir. Ada faktor eksternal, ada internal. Selama penyebab marah itu ada, tetapi jika atasan tersebut tidak mau, maka marah pasti tidak akan terjadi.

Banyak faktor penyebab kemarahan, tetapi jika ada penghalangnya, maka marah akan reda, akan bisa ditahan dengan baik. Penghalangnya itu adalah faktor pendidikan. Sudah bersekolah tinggi-tinggi, mendapatkan gelar sarjana, magister, hingga doktor, tetapi sering marah kepada bawahan, maka perlu malu dengan pendidikannya. Apakah pikirannya memang tidak dipakai untuk mengendalikan marah? Apakah selama sekolah itu, pikirannya tidak disekolahkan juga?

Hal yang jelas adalah menjadi atasan itu tidak mudah. Bawahan dengan karakter dan sifat yang berbeda, apalagi tidak cuma satu, perlu diatur dan ditata. Ketika nantinya melakukan kesalahan, tidak harus ditanggapi dengan marah-marah. Cukup dinasihati, diarahkan, dan dijelaskan solusinya atau yang semestinya dilakukan. Dengan demikian, atasan tersebut akan tetap mendapatkan tempat di hati para bawahannya.

Penulis adalah Kasubag Teknis Penyelenggaraan Pemilu, Partisipasi, dan Hubungan Masyarakat, Sekretariat KPU Kabupaten Bombana

Tulis Komentar