KilasSultra.com-BOMBANA- Di Indonesia banyak beraneka suku dan budaya. Salah satunya adalah Suku Moronene. Apakah kamu tahu Suku Moronene?
Suku Moronene merupakan salah satu suku yang ada di Sulawesi Tenggara dan berada di wilayah Kabupaten Bombana. Suku Moronene memiliki warisan kebudayaan yang unik dan beragam. Salah satunya adalah tradisi adat perkawinan yang dalam bahasa moronene disebut kawi’a.
Tradisi adat perkawinan merupakan upacara adat tradisional dan sakral, yang berarti bahwa upacara adat tradisional merupakan kelakuan atau tindakan simbolis manusia sehubungan dengan kepercayaan yang mempunyai maksud dan tujuan.
Tradisi adat kawi’a ini masih tetap dijunjung tinggi dan dilaksanakan karena terikat dengan hukum-hukum adat yang wajib ditaati oleh segenap masyarakatnya dan juga merupakan salah satu pencerminan kepribadian atau penjelmaan dari pada suku Moronene itu sendiri dalam memperkaya budaya-budaya di Indonesia.
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dan harus dipersiapkan segala sesuatunya meliputi aspek fisik, mental, dan sosial ekonomi. Perkawinan yang baik adalah perkawinan yang sah dan tidak di bawah tangan, karena perkawinan adalah sakral dan tidak dapat dimanipulasikan dengan apapun.
Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat, dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dan perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tenteram dan bahagia.
Perkawinan mempunyai tujuan yang agung dan motif yang mulia, karena perkawinan merupakan tempat persemaian cinta, kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat serta hubungan timbal balik yang mesra antara suami dan istri.
Sejak zaman pra sejarah, perkawinan merupakan masalah yang penting karena perkawinan merupakan kebutuhan dasar (basic need) manusia. Setiap manusia memiliki naluri untuk mengembangkan keturunan dan kelangsungan hidupnya. Dalam hubungan inilah manusia melaksanakan perkawinan.
Pada dasarnya selain untuk menyalurkan kebutuhan dasar manusia, perkawinan dilaksanakan dalam rangka mengembangkan keturunan dan melestarikan kehidupan manusia. Setiap manusia mempunyai naluri agar anak keturunannya dapat mewarisi dan meneruskan cita-cita hidupnya.
Mengenali suku adat Moronene tentang perkawinan yang ideal di kalangan masyarakat suku Moronene dilaksanakan melalui beberapa tahap. Selama proses pelaksanaannya yang aktif adalah orang tua dan pihak kerabat keluarga pria, sedang pihak orang tua dan kerabat wanita hanya pasif (menunggu).
Sejak langkah awal mencari jodoh sampai pelaksanaan acara perkawinan, pihak prialah yang aktif berusaha melaksanakan semua rangkaian acara adat. Ada beberapa rangkaian acara adat (tahap) yang harus dilaksanakan dalam adat perkawinan yang ideal dalam suku Moronene yaitu :
Metiro berarti melirik jodoh, dimana orang tua pihak pria yang aktif mencarikan calon istri anak mereka. Mereka berkunjung ke tempat-tempat keramaian seperti pada saat ndo’ua (pesta), saat motasu (tanam padi), saat mongkotu (panen padi) dan di tempat-tempat keramaian lainnya.
Mereka akan mencari gadis-gadis yang ideal dengan pertimbangan untuk terbentuknya suatu hubungan yang sejajar dan sepadan, dan di samping itu juga mereka memperhatikan beberapa aspek yang secara umum merupakan ukuran dalam memilih jodoh.
Mongkira-kira artinya meniatkan atau melamar yang merencanakan untuk meminang sang gadis, sedangkan mowawa kinambalu artinya membawa sesuatu barang yang dalam keadaan terbungkus.
Cara pelaksanaannya adalah orang tua pihak pria menyiapkan sesuatu barang (biasanya siri/pinang atau daging hewan hasil buruan), kemudian dibungkus dengan daun agel atau seludang mayang pinang yang telah kering, dan diikat dengan tali agel atau yang sejenisnya, lalu disimpul hidup kemudian kedua ujungnya dipintal yang mengundang makna simbolis “ingin menjalin/mempererat hubungan keluarga melalui acara perkawinan”.
Mowindahako artinya meminang, cara pelaksanaannya adalah orang tua pria minta bantuan seorang Tolea (juru bicara) untuk pergi ke rumah orang tua pihak wanita, meminang anak dara yang telah menjadi pilihan orang tua pria dan juga telah disetujui oleh anak mereka.
Mompokontodo artinya memantapkan lamaran pihak pria dengan maksud untuk memperoleh jawaban dari pihak wanita, perihal diterimanya lamaran mereka. Cara pelaksanaannya adalah setelah selang beberapa hari selesainya mowindahako, Tolea bersama Anantolea pergi ke rumah orang tua anak dara dengan membawa niwindahako yang kedua. Niwindahako yang kedua ini dinamakan pokontodo, bahannya sama dengan niwindahako yang pertama.
Mesisiwi adalah cara membujuk anak dara yang telah dilamar, agar menyetujui lamaran yang telah diterima. Mesisiwi dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan oleh orang tua anak dara, dan biasanya pada waktu malam. Yang lebih aktif membujuk anak dara pada acara mesisiwi adalah orang tua dan kerabat pihak pria.
Mesampora berarti bertunangan, dimana kedua calon suami istri akan saling mengenal sifat dan perangai masing-masing dan kemudian diharapkan akan saling mencintai sehingga dapat dihindari perkawinan paksa.
Mowawa koota olu secara harfiah berarti membawa tali simpul. Caranya adalah setelah selesai masa bertunangan maka Tolea akan pergi ke rumah orang tua calon istri, mowawa koota olu (membawa tali simpul) untuk minta penetapan waktu pelaksanaan acara lumanga (antar langa). Bahan koota olu terdiri atas selembar piring dan seutas tali sebesar lidi enau (dari benang warna putih) yang telah disimpul mati dua buah atau empat buah (boleh lebih asal genap) yang artinya minta waktu dua hari atau empat hari yang akan datang untuk melaksanakan acara lumanga (mengantar langa).
Lumanga berasal dari kata langa, yang hampir serupa wujudnya dengan kata mahar, tetapi dari segi makna dan penggunaannya jauh berbeda. Adapun kata mahar atau mas kawin adalah pemberian wajib berupa uang atau benda dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.(Mororondo).
Prosesi pernikahan suku adat Moronene di Bombana Mororondo artinya secara harfiah adalah menyayangi, dan arti kiasannya adalah waktu mempersiapkan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan pelaksanaan pesta perkawinan yang disebut dalam bahasa suku adat Moronene Metotoa Dan Mosusu Tuamentaa.
Metotoa artinya menyumbang, yang diadakan oleh kerabat pihak pengantin pria untuk membantu pelaksanaan pesta perkawinan yang diadakan oleh orang tua pengantin pria.
Metiwawa artinya mengantar pengantin wanita ke rumah pengantin pria. Caranya metiwawa adalah orang tua dan kerabat pengantin wanita beserta undangan lainnya, mengantar pengantin wanita dengan berjalan menuju rumah pengantin pria tempat dilaksanakannya pesta perkawinan. Pengantin wanita dan rombongannya itu akan singgah beristirahat sebentar di panggung yang telah disiapkan yang disebut patende, untuk menunggu pelaksanaan acara molongko tinaniwawa.
Molongko artinya mengundang, dan tinaniwawa artinya pengantin wanita. Cara molongko tinaniwawa adalah orang tua dan kerabat terdekat pengantin pria dipimpin oleh tolea datang menjemput Tinaniwawa di patande yakni Pinokompompinda pali.
Secara harfiah pinokompompinda pali berarti dituntun menginjak kapak yang terdiri atas kata (pinoko) yang berarti dituntun atau dipimpin, (pompinda) artinya penginjak, (mompinda)artinya menginjak, (pali) berarti kapak.
Pinokompe’olo artinya dituntun atau dipimpin makan bersama dalam satu piring. Arti simbolisnya adalah untuk melambangkan suatu harapan agar kedua pengantin akan senantiasa hidup rukun.
Pinokompompanga artinya dituntun atau dipimpin makan siri bersama. Cara pelaksanaan acara pinokompompanga adalah setelah semua undangan selesai makan dan minum bersama, Tolea akan memimpin acara tersebut dengan mengambil buah pinang dan siri yang disiapkan dalam wadah yang lazim disebut (mpangana) yaitu tempat siri, pinang, gambir, dan kapur yang terbuat dari daun agel yang telah dianyam berbentuk keranjang kecil.
Sama halnya hampir semua suku di Indonesia, perkawinan itu adalah saat yang terpenting pada lingkaran hidup individu, karena terjadinya saat peralihan dari tingkat hidup belum berkeluarga (masa membujang) ke tingkat hidup berkeluarga.
Pada umumnya masa peralihan tersebut ditandai dengan diadakannya suatu upacara perkawinan yang sering memerlukan biaya yang besar. Oleh karena itu seluruh kegiatan pelaksanaan adat istiadat dalam upacara perkawinan itu, yang terlibat tidak hanya individu-individu keluarga yang bersangkutan, namun tetapi juga semua anggota kerabat kedua belah pihak, maka terjadilah pernikahan antara kedua mempelai.(ADV)