KilasSultra.com-BOMBANA-
Tetiba kakiku bergerak. Menghentak-hentak. Talang berisi beberapa gelas kopi yang kupegang, terlepas begitu saja. Dan akhirnya tumpah.
Tanganku pun mulai gemetar. Perlahan bergerak mengikuti hentakan kaki yang tidak sanggup aku redam.
Gerakan itu tercipta, dalam keadaan sadar. Namun, entah mengapa tak kuasa untuk kulawan.
Tergerak begitu mendengar tabuhan gendang dikuti dentingan ndengundengu serta dentuman tawatawa.
Itulah yang disebut irama goganda wadulangi (goganda wowolia) atau kerap disebut ketukan atau paduan irama yang iringi tarian lumense.
“Saya ini tidak pandai menari, tapi sejak saya mengalami peristiwa itu, seketika tahu tentang gerakan Lumense” demikian Jarni (70-an) kisahkan tentang Tarian Adat Tokotua di Pulau Kabaena yang sangat sakral
Pengiring tarian lumense yang didengarnya itu adalah irama gendang yang dibunyikan saat mengikuti rombongan penari Kabaena pada awal tahun 1971. Kala itu dalam rangka penjemputan Bupati Kabupaten Dati II Buton.
“Tiap desa diwakili minimal 1 orang utusan penari. Kala itu saya mewakili Desa Rahadopi, sebab saya masi tinggal di Dusun Sampalakambula yang kini telah menjadi Desa Tirongkotu’a,” tuturnya.
Penabuh gendang yang melihat saya telah dikuasai ruh. Ia langsung menghentikan tabuhannya.
Ironisnya saya masih sempat dengar penari lainnya marah-marah, karena ruh yang seharusnya menghinggapi mereka, justeru masuk ke raga saya, lanjutnya.
“Dan sesaat gendang berhenti, seketika itu juga saya tidak sadar,” tandasnya.
Para dukun berdatangan. Tujuannya untuk mengobati saya. Tapi tak seorang pun yang mampu, bahkan ada yang terpental dan meninggal seketika karenanya.
Beruntunglah pada sore hari itu, setelah lebih kurang 9 jam saya dianggap mati suri, datanglah Mbue Hadi (K. H. Daud Bin Abdullah).
‘Anak ini tidak meninggal. Ia hanya mati suri, pengaruh dari ruh tarian yang dimainkannya. Ia tidak dapat bergerak dan nafasnya tertahan sebab ubun-ubunnya sedang dipegang'” kisah Jarni menirukan ucapan sang Kiai Kharismatik asal Kabaena itu.
Peristiwa yang demikian itu sambung Jarni disebut dengan Mate Wowolia.
Lalu, apa saja yang dilihat saat Mate Wowolia?
Ina’ate (sapaan akrab pengganti kata tante) Jarni, tidak menyebut keseluruhan rangkaian peristiwa spiritual yang dialaminya, selain dari bagian akhir yang ditunjukkan padanya.
“Saya melihat seekor kuda bersayap tetapi bercahaya. Iya mengeluarkan cahaya. Cahaya itu memancar dari penunggangnya yang tak mampu aku lihat,” tutur Jami (ADV)
Penulis : Jumrad Raunde
– Ketua.Komunitas Adat Kotua Pulau Kabaena
– Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kabupaten Bombana