KilasSultra.com- BOMBANA- Pakaian Adat wanita Moronene sangat memikat. Bercorak dan memiliki motif yang khas. Konon terinspirasi dari motif bulu burung srigunting
Menurut sebuah kisah yang dinukil dari budayawan Kasra Jaru Munara, corak pakaian adat wanita itu memiliki kisah. Zaman dulu tatkala seorang putri sedang duduk menjahit di depan jendela dia melihat seekor burung srigunting bertengger di sebuah pohon.
Bentuk ekornya terlihat begitu indah sehingga menjadi inspirasi sang putri dalam membuat baju “kombo”. Ada juga sumber yang menyebutkan bentuk ekor dari jenis burung cempala atau simpala, namun burung jenis ini hanya ada di Kalimantan dan Sumatra dan menjadi icon di Aceh.
Bagian bentuk ekor burung srigunting inilah yang menjadi sebuah ciri khas (tiada duanya) dari pakaian adat wanita suku Moronene. Bentuknya dihiasi dengan ornamen artistik berupa sulaman, manik-manik dan potongan kain dengan variasi warna. Lalu pada bagian jahitan di leher, bahu, sisi kiri-kanan juga diberikan ornamen artistik berupa sulaman hingga pada bagian pinggir ekor burung.
Kemudian dalam hal mengikatkan sarung di dipinggang, wanita bangsawan memiliki ikatan yang terletak di sebelah kanan dan wanita biasa memiliki ikatan di sebelah kiri.
Sama dengan pria, pakaian adat wanita juga dilengkapi dengan asesories yaitu berupa gelang dan kalung serta ikat kepala yang juga disebut “taali” namun bentuknya sederhana, sekilas mirip dengan bando.
“Taali” untuk wanita juga berkembang dalam bentuk rupa dan hiasan, menggunakan bahan kain yang dihiasi dengan beberapa ornamen artistik (sulaman dan manik-manik). Bagi masyarakat adat Moronene di Kabaena, busana biasa juga dilengkapi dengan ikat pinggang dan selempang.
Salah satu wujud penampilan “kombo” pada masa lalu diabadikan oleh Dr. Elbert dalam bukunya “Die Sunda Expedition”, 1910. Dalam perkembangannya, ada perbaikan kualitas bahan dan jahitan serta penambahan unsur-unsur artistik lainnya untuk menambah keindahan,
Khususnya kostum untuk pengantin dan penari. Berikut tampilan beberapa model dan bentuk pakaian adat wanita dari masa ke masa. Bentuk ekor burung srigunting tetap dipertahankan.
Adapun warna kain yang baku untuk pakaian adat suku Moronene baik untuk pria maupun wanita lazimnya mengikuti empat pilihan warna utama suku Moronene. Sebagaimana yang pernah diulas pada tulisan sebelumnya, empat warna utama tersebut adalah: mopila (putih), molori (hitam), motaha (merah), mokuni (kuning). Namun warna pilihan untuk Mokole dan bangsawan adalah warna hitam atau merah.
Mengapa demikian? Hal ini tidak lepas dari nilai ekonomi barang, ditinjau dari segi waktu dan tenaga yang dibutuhkan selama proses pembuatan. Nilai ekonomi barang yang dipakai berkaitan erat dengan status sosial seseorang.
Pada zaman lampau, teknik pewarnaan untuk serat tekstil (benang dan kain) menggunakan bahan pewarna alami dari tumbuhan atau serangga. Namun yang paling banyak digunakan adalah dari tumbuhan seperti mengkudu (morinda citrifolia) bukan dari bahan mineral atau arang. (Sumber: Looms Weaving and the Austronesia Expansion – Buckley).
Untuk warna hitam, bahan pewarna diambil dari “tannin” (sejenis senyawa polifenol) yang diekstrak dari kulit pohon mengkudu yang kemudian dicampurkan dengan bahan senyawa besi yang berasal dari lumpur sawah. Komposisi campuran akan menentukan kekuatan warna pada serat benang/kain. Beda komposisi bisa menghasilkan warna kecoklatan.
Untuk warna merah, bahan pewarna diambil dari akar pohon mengkudu. Untuk mendapatkan warna merah menyala (terang/cerah), harus melalui proses pengikatan warna (mordanting) menggunakan bahan tawas (Alum) dan pencelupan warna (dyeing) yang berkali-kali (bisa lebih dari 20 kali) yang bisa membutuhkan waktu hingga 1-2 tahun.
Seringkali proses pembuatan warna dan pewarnaan menjadi resep rahasia bahkan melalui ritual tertentu. Inilah mungkin yang menjadi alasan banyak para bangsawan memilih bahan berwarna merah untuk pakaian adatnya.
Sementara untuk warna kuning, bahan pewarna juga berasal dari akar mengkudu namun proses pengerjaannya cukup sederhana, tidak serumit warna merah. Sedangkan warna putih pada umumnya adalah warna dasar serat benang/kain karena terbuat dari bahan kapas yang dari mulanya sudah berwarna putih. Bahan kain berwarna kuning dan putih akan menjadi pilihan bagi para bangsawan apabila terbuat dari bahan sutra.
Warna juga memilki makna yang berlaku secara universal. Warna putih umumnya melambangkan kemuliaan, warna kuning melambangkan kelembutan, warna merah melambangkan kewibawaan dan keberanian, warna hitam melambangkan kehebatan dan kekuatan (menjadi warna utama untuk para Tamalaki). Sebagian tokoh juga berpendapat bahwa pakaian adat warna merah lazimnya digunakan pada saat prosesi adat perkawinan dan warna hitam saat prosesi adat kematian. (ADV)